Dr. Dudy Imanuddin Effendi, M. Ag
PERSATUAN Umat Islam (PUI) merupakan organisasi hasil besutan tiga pahlawan nasional, yakni: KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi dan Mr. Raden Syamsuddin.
Ketiga founding father PUI tersebut dalam lintasan sejarah kemerdekaan Republik Indonesia termasuk sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan dasar-dasar negara bersama Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara dan tokoh-tokoh pejuang lainnya.
Rintisan kelahiran PUI sudah diawali sejak 17 Juli 1911 oleh KH. Abdul Halim di Majalengka dengan membentuk organisasi bernama Jam’iyyah Hajatoel Qoeloeb (JQH). Lalu pada 16 Mei 1916, diubah menjadi Jam’iyah I’anat al-Muta’allimin.
Ketika akan mengurus legalitas izin ke pemerintah Hindia Belanda, atas saran Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, namanya diubah menjadi Persjarikatan Oelama (PO) yang ditetapkan melalui Gouvernements Besluit (Keputusan Pemerintah) No 43 tanggal 21 Desember 1917. Akan tetapi di akhir, organisasi PO ini berubah nama menjadi Perikatan Oemmat Islam (POI) pada 15 Februari 1943.
Rintisan PUI juga di inisiasi oleh KH. Ahmad Sanusi dengan mendirikan organisasi Al-Ittihadijatoel Islamijjah (AII) pada 21 November 1931 di Batavia Centrum dan selanjutnya berpusat di Sukabumi. Kemudian diakhirnya namanya berubah menjadi Persatuan Oemmat Islam Indonesia (POII) pada 1 Februari 1944.
Berpijak pada pemikiran jernih kedua ulama besar ini, terkhusus didorong oleh niat lurus untuk menggalang persatuan di kalangan bangsa Indonesia dan bertujuan mengurangi pertentangan di antara umat Islam saat itu.
Karena itu Mereka sepakat untuk melakukan fusi (POI & POII) pada tahun 1952 Masehi/1374 Hijriyah, tetapnya di Bogor pada hari Sabtu, 09 Rajab 1371 Hijriyah bertepatan dengan 5 April 1952 menjadi Persatuan Ummat Islam (PUI).
Berdasarkan bukti otentik historis dengan berpijak pada dokumen Gouvernements Besluit (Keputusan Pemerintah) No 43 tanggal 21 Desember 1917), sidang majelis syuro PUI telah menetapkan bahwa kelahiran organisasi ini tepatnya pada tanggal 21 Desember 1917/6 Rabi’ul Awwal 1336 H yang disahkan pada tanggal 28 Desember 2019 M/ 1 Jumadil ula 1441 H.
Warisan Intelektual
Warisan intelektual dari para founding father PUI yang paling monumental adalah “Intisab” dan “Islah al-Tsamaniyah”. Dua hal penting sebagai warisan intelektual founding father PUI yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Keduanya merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi dalam asas dan amal pergerakan organisasi PUI.
Intisab dan Islah al-Tsamaniyah adalah pedoman serta garis perjuangan PUI. Pijakan ideologi konseptual dan praxis organisasi yang telah dijadikan rujukan gerakan amal sholeh PUI dari massa ke masa.
Secara fungsional, “intisab” telah dimaknai sebagai: 1) pedoman dasar dalam beriman; 2) filsafat dasar dalam berpikir dan memecahkan masalah hidup dan kehidupan; 3) tolok ukur dalam menentukan kepribadian dan langkah perjuangan; 4) didalamnya terdapat rangkaian kalimat bai’at bagi warga dan pimpinan PUI, dan; 5) kunci untuk mengajak kembali umat kepada Al-quran dan Sunah.
Secara hakiki, makna “intisab” juga merupakan implementasi dari deklarasi diri yang diungkapkan dalam kalimat “syahadatain”. Deklarasi diri berupa ikrar “Asyhadu allaa illallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”.
Kemudian ditegaskan oleh sikap yang dinarasikan ke dalam kalimat, “Allahu Ghaayatunaa (Allah adalah tujuan pengabdian kami), Wal ikhlashu Mabdaunaa ( Ikhlas adalah dasar pengabdian kami), Wal Ishlaahu Sabiilunaa (Ishlah adalah jalan pengabdian kami), dan Wal Mahabbatu Syi’aarunaa (cinta adalah lambang pengabdian kami).”
Konsekwensi dari kesaksian dan sikap tersebut semakin dikuatkan dengan ungkapan: “Nu’aahidullaaha (kami berjanji padamu ya Alloh), ‘Alash shidqi (berlaku benar), Wal ikhlashi (ikhlas), Wal yaqiini (tegas penuh keyakinan), Wa thalabi ridlallaahi fil ’amali baina ’ibaadihi bittawakuli ’alaih (serta mencari ridla-mu, dalam beramal diantara hamba-hamba-Mu, dengan bertawakal pada-Mu).”
Karena itu bagi anggota PUI saat mengawali aktifitas amal sholeh yang berpijak pada “intisab” sejatinya harus memulai dari kalimat, “Bismillaahirr rahmaanir rahiim, Bismillaahi walaa haula, walaa quwwata ilaa billaahil ’aliyyil ’adzhiim, Allaahu Akbar”
(Dengan nama Allah SWT, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Dengan nama Allah SWT, tidak ada pada kami ini daya, dan tidak ada pada kami kekuatan, kecuali karena kuasa-Mu juga, Allaahu Akbar (Allah SWT Maha Besar).”
Secara terperinci makna konseptual intisab ini telah di jabarkan ke dalam langkah operasional yamg dirumuskan kepada program “Ishlahuts Tsamaniyyah (Delapan Ishlah).”
Bentuk konkrit program dari “Delapan Ishlah” ini meliputi: 1) Ishlahul ‘Aqidah (perbaikan akidah) ; 2) Ishlahul Ibadah (perbaikan ibadah); 3) Ishlahul A’dah (perbaikan tradisi/adat kebiasaan); 4) Ishlahut Tarbiyah (perbaikan pendidikan); 5) Ishlahul ‘Ailah (perbaikan keluarga); 6) Ishlahul Mujtama (perbaikan sosial); 7) Ishlahul Iqtishad (perbaikan ekonomi), dan terakhir; 8) Ishlahul Ummah (perbaikan ummat).
Inilah elobarasi singkat dari hikmah sejarah dan makna intisab yang selalu dijadikan rujukan utama PUI dalam menpraktekkan dan mengembangkan amal sholeh di tengah-tengah umat manusia, terkhusus umat islam di Indonesia.
*) Lajnah Buhuts Dewan Syariah PUI Jawa Barat
Discussion about this post