Oleh Drs. H. Karsidi Diningrat, M.Ag
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam telah bersabda, : “Menyendiri lebih baik daripada berkawan dengan orang yang buruk, jahat, dan berkawan dengan orang yang sholeh lebih baik daripada menyendiri. Berbincang-bincang yang baik lebih baik daripada berdiam dan berdiam adalah lebih baik daripada berbicara atau ngobrol yang buruk. (HR. Al-Hakim).
Dalam hadits yang lain disebutkan, : “Barangsiapa banyak bicara maka banyak pula salahnya dan barangsiapa banyak salah maka banyak pula dosanya, dan barangsiapa banyak dosanya maka api neraka lebih utama baginya. (HR. Athabrani).
Diam adalah pondasi keselamatan dan merupakan sikap penyesalan terhadap berbagai celaan. Oleh karena itu, kewajiban diam ditetapkan oleh syari’ah, perintah, dan larangan. Sedangkan diam pada saat-saat tertentu adalah sifat para pemimpin, sebagaimana ungkapan bahwa bicara pada tempatnya termasuk perilaku yang baik.
Menyimpan mulut di depan orang yang diam merupakan sikap yang baik untuk menghindari kebohongan, umpatan, dan kekejaman raja.
Dalam hal ini Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasall telah bersabda, : “Barangsiapa banyak diam maka dia akan selamat. (HR. Ahmad).
Ada kisah dialog antara Luqman dan Dawud, “Luqman masuk menemui Dawud, yang sedang menjahit baju perang. Luqman ingin bertanya kepadanya, namun hikmah mencegahnya, dan dia pun diam. Dawud, setelah selesai mengerjakan jahitannya, mengenakan baju tersebut dan berkata, “Inilah baju perang terbaik!” Lalu Luqman berkata, “Diam itu hikmah, namun sedikit sekali orang yang melakukannya.” Mendengar perkataan itu, Dawud berkata kepada Luqman, “Sungguh tepat aku menamakanmu hakim (orang yang bijaksana).
Juga dalam hadits yang lain disebutkan, : “Sesungguhnya Allah tidak menyukai banyak ngobrol, omong, mengambur-hamburkan harta dan terlalu banyak bertanya. (HR. Al-Bukhari).
Juga Nabi Saw. bersabda, : “Sifat malu adalah dari iman dan keimanan itu di surga, sedangkan perkataan busuk, kotor adalah kebengisan tabi’at dan kebengisan tabi’at di neraka. (HR. Al-Bukhari & Attirmidzi).
“Sesungguhnya diam adalah sebuah pintu di antara pintu-pintu hikmah.” “Tidak ada kebaikan bersikap diam (tidak berbicara) dari hukum, sebagaimana tidak ada kebaikan berbicara dengan kebodohan.”
Tiga Macam Diam
Diam itu ada tiga macam: 1. Diam karena berpikir dan hikmah. 2. Diam dari amar makruf dan nahi munkar, dan juga dari hukum. 3. Diam yang merupakan penyakit kejiwaan, seperti rasa malu yang berlebihan.
Diam bentuk pertama adalah diam yang dianjurkan, sedangkan diam bentuk kedua dan ketiga tertolak dalam Islam. Diam bentuk pertama mengarah kepada hikmah dan kebenaran. Diam bentuk ketiga adalah penyakit kejiwaan yang harus disembuhkan.
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Berdiam merupakan akhlak yang utama, dan barang siapa gemar bergurau maka ia dianggap enteng.” (HR. ad-Dailami melalui Anas r.a.).
Makna hadits ini, barang siapa yang sedikit bicara, niscaya ia dihormati; dan barang siapa yang banyak bicara yang tidak perlu, maka ia akan dianggap remeh.
Dan dalam Sabda yang lain, “Dengan banyak diam tercipta wibawa.” “Jika akal sempurna maka bicara akan sedikit.” (Sahabat). “Jika engkau melihat seorang mukmin diam (tidak banyak berkata) maka dekatilah, karena dia akan melontarkan hikmah.” (Hadits).
Diam karena berpikir dan hikmah berarti mengendalikan kehendak lisan melalui kekuatan akal. Karena, tidak pada semua tempat dan waktu seseorang layak bicara, bagaimana juga tidak pada setiap tempat dan waktu seseorang layak diam. Segala sesuatu mempunyai ukurannya, tidak berlebihan (ifrath) dan tidak juga kekurangan (tafrith) .
Diam hikmah adalah diam berpikir dan menggunakan akal pada hal-hal yang bermanfa’at, bukan asal diam dan asal berpikir. Diam hikmah adalah menyiapkan apa-apa yang hendak dikatakan, dilakukan, atau ditetapkan pada jalan yang benar, bukan pada jalan yang batil.
Diam hikmah menuntut manusia untuk berbicara pada waktu bicara dan diam pada waktu diam. Tidak banyak berceloteh, dan omongan tidak keluar dengan deras dari lidahnya. Karena, terlalu banyak bicara mengakibatkan seseorang banyak jatuh kepada kesalahan. Kepribadiannya menjadi lemah.
“Barangsiapa yang banyak bicaranya maka dia akan tergelincir.” “Jika sedikit bicaranya maka banyak kebenarannya.”
“Sesungguhnya sedikit bicara adalah kebaikan bagi yang bersangkutan, dan banyak bicara adalah dibenci. Tidak akan tergelincir orang yang diam, dan tidak ada yang diperoleh orang yang banyak bicara kecuali ketergelinciran.
Jika bicara itu perak, maka diam itu mutiara yang dihiasi yakut.” (Khulafaur Rasidun). Sebuah ungkapan hikmah terkenal berkata tentang diam yang positif, “Jika berbicara adalah perak, maka diam adalah emas.”
Rasulullah Saw. telah bersabda, “Ingatlah, aku akan memberitahukan kepada kalian tentang ibadah yang paling mudah dan paling ringan bagi tubuh (kalian), yaitu: berdiam dan berakhlak yang baik.” (HR. Ibnu Abud Dunya melalui Shafwan ibnu Salim).
Juga dalam hadits yang lain Beliau Saw bersabda, “Berakhlaklah engkau dengan akhlak yang baik dan banyaknya diam; demi Dzat yang jiwaku berada di tangan kekuasaan-Nya tiada suatu akhlak pun yang lebih baik dari hal tersebut.” (HR. Abu Ya’la melalui Anas r.a.).
Dua Hal Sangat Terpuji
Dua hal yang sangat terpuji ialah diam dan berakhlak baik. Yang dimaksud dengan diam ialah tidak berbicara, melainkan hanya seperlunya saja, dan memelihara lisan.
Dalam sebuah pepatah dikatakan barang siapa yang menghendaki selamat, hendaknya ia memelihara lisannya. Perhiasan yang paling baik dan paling indah bagi manusia ialah akhlak yang baik dan sedikit bicara. Sesungguhnya banyak malapetaka yang diakibatkan oleh ulah lisan, dan yang paling terbesar ialah menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka.
Dalam hadits yang lain Beliau Saw. bersabda, “Semoga Allah merahmati orang yang memelihara lisannya dan ia mengetahui zamannya serta menempuh jalan yang lurus.” (HR. ad-Dailami melalui Ibnu Abbas r.a.).
Orang yang mendapat rahmat dari Allah ialah orang yang memelihara lisan dan mengenal keadaan zamannya, sedangkan ia tetap istiqamah dalam jalan yang lurus dan tidak terpengaruh oleh keadaan zamannya.
Semoga kita bisa menggunakan lidah (mulut) kita kapan waktu dan tempat bicara dan kapan waktu untuk diam. Wallahu A’lam bish-Shawab . ***
Penulis adalah dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung, dan mantan Ketua PW Al Washliyah Jawa Barat.
Discussion about this post