MADANIACOID.– Guna mengakselerasi kemandirian pangan, Pemerintah saat ini mendorong food estate.
Menurut Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Jabar Harry Maksum, food estate adalah istilah populis dari usaha budidaya tanaman dengan skala luas kurang lebih 25 H.
“Program ini mengintegrasikan antara pertanian, perkebunan, dan peternakan di suatu kawasan untuk ketahanan pangan” ujar Harry. Jum’at 18 November 2022
Konsep ini, ungkapnya sebagai sistem industrial yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), modal, serta organisasi dan manajemen modern.
“Pondok Pesantren bisa menjadi pilot project dari food estate ini sehingga tak perlu membuka lahan baru” tegasnya.
Harry menuturkan, jumlah Pondok Pesantren (ponpes) di Jawa Barat tercatat 8.343 pesantren dengan sekitar 5 jutaan santri.
Jumlah tersebut, ungkapnya, hampir 2 kali lipat dibanding daerah lain seperti Banten, Jawa Timur maupun Jawa Tengah.
Harry menjelaskan di Banten ada 4.579 pesantren, Jawa Timur 4.452 pesantren dan Jawa Tengah dengan 3.787 pesantren.
“Jumlah pondok pesantren tertinggi di Jawa Barat yaitu Kabupaten Tasikmalaya dengan 1.344 pesantren, Kabupaten Bogor 1.093 pesantren dan Kabupaten Garut dengan 1.055 pesantren” ujarnya.
“Kemudian Kabupaten Cirebon 726 pesantren serta Kabupaten Sukabumi 629 pesantren” imbuhnya.
Peran Stretegis Ponpes Membangun Ketahanan Pangan

Kandidat Doktor itu mengatakan, dalam KTT G20 Presiden Joko Widodo dunia sedang menghadapi krisis kesehatan, krisis pangan, krisis energi, dan krisis finansial.
“Ponpes dan santri punya peran besar dalam pembangunan nasional untuk mengatasi persoalan tersebut” ujarnya
“Sejak masa perjuangan, masa kemerdekaan, era pembangunan, hingga sekarang dan ke depan perannya sangat strategis” imbuhnya.
Menurutnya, para santri dan ponpes di Jabar khususnya bisa menjadi agen dan hub pembangunan nasional, baik dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
“Pesantren lahir mandiri, dengan kyai yang menjadi tokoh teladan di masyarakat dan para santri terbukti mampu menggerakan masyarakat untuk pembangunan bangsa, termasuk dalam ekonomi kerakyatan,” tegasnya.
Dengan membangun dan memperkuat tradisi agribisnis di ponpes maka akan dapat menggerakan 5 sektor ekonomi sekaligus yakni ketahanan pangan, industri farmasi, industri kecantikan, industri pariwisata, dan energi terbarukan.
ponpes, tegasnya, memiliki peran strategis. Sebagaimana Undang Undang Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren, mengamanahkan tugas pesantren sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
“Para Santri yang dipimpin kyai bisa menjadi motor pemberdayaan ekonomi dan pertanian seperti di ponpes Al-Ittifaq” ujarnya.
Hal ini, ungkapnya, menjadi contoh bagaimana sebuah institusi keagamaan mampu mandiri dalam sektor pangan dengan bertani.
“Selain mengaji, santrinya juga diajari bercocok tanam. Bahkan, dengan kosnep food estate diharapkan mereka dapat mendistribusikan hasil pertaniannya ke pasar tradisional dan swalayan di daerahnya” ujar Harry.
Lebih jauh Harry menuturkan, ponpes di Jabar banyak yang memiliki lahan yang luas. Jika pemanfaatannya tepat maka roda perekonomi berputar dan kebutuhan gizi santri pun bisa terpenuhi.
“Di pesantren salafiyah umumnya tidak mengenakan biaya. Jadi orang tua mengirimkan anaknya ke pesantren, maka jadi tanggungan pesantren. Dengan konsep food estate ini maka ekosistem ketahanan pangannya akan terbangun” ujarnya.
Menurut Harry, penanaman paradigma pangan merupakan kebutuhan primer bagi santri. Dengan dasar pemikiran itulah, ketahanan pangan dengan memanfaatan lahan pesantren, lahan tidur milik perhutani ataupun perkebunan bisa menjadi sebuah rule model.
“Harapannya, lulusan ponpes kalau sudah dibekali pendidikan dan pelatihan yang baik ditambah dengan pemenuhan kecukupan gizi yang seimbang, Insyaallah pesantren sebagai tonggak terciptanya ketahanan pangan” ujarnya.
Harry menegaskan mengembalikan tradisi agribsinis di sebuah pesantren harus terus digaungkan. Karena Agribisnis tidak hanya tentang unsur produksi, tetapi juga unsur pengolahan dan unsur pendukung.
“Unsur produksi bisa dengan pelatihan, unsur pengolahan di ponpes para santri bisa terlibat langsung dan unsur pendukung ini datangnya dari pemerintah, lembaga keuangan atau lembaga lainnya” ujar Harry
Peran Perbankan Meminimalisir Risiko Inflasi Pangan ke Depan
Harry menuturkan, bank selalu beralasan penyaluran kredit pada petani beresiko. Alasan klasik mereka, ujar Harry adalah sektor pertanian sangat beresiko, bergantung pada musim serta jaminan harga yang tidak pasti.
“Disini diperlukan political will pemerintah agar program ketahanan pangan berbasis ponpes ini bisa berjalan dengan dukungan permodalan yang mumpuni” ujarnya.
Kalaupun ada, selama ini, tegas Harry, pendampingan teknis dari kementerian atau dinas terkait pada para petani dilapangan hanya sampai petani menerima kredit saja. Padahal, permasalahan bisa muncul saat petani tak mampu mengembalikan kredit karena gagal panen atau proses tanam lainnya.
“Saya berharap kedepan guna mensukseskan program ketahanan pangan ini pemerintah tidak setengah – setengah dan mencari formula terbaik agar perbankan mau masuk ke sektor pertanian tidak hanya menunggu di hilir (pengolahan dan perdagangan) saja yang resikonya kecil dan penyerapan atau nasabah lebih besar” Pungkasnya.
Langkah Strategis Bank Indonesia Memitigasi Inflasi

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menekankan perlunya gotong-royong dan bahu-membahu guna memitigasi risiko inflasi, mengingat tingginya risiko inflasi pangan ke depan.
Melalui Sinergi Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP), Bank Indonesia bersama-sama dengan dengan Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP & TPID) untuk menjaga terkendalinya inflasi nasional.
“Sinergi dan langkah bersama yang dapat ditempuh ditujukan untuk mengendalikan inflasi pangan pada 2022. Hal ini karena inflasi pangan memiliki bobot yang cukup besar dari komposisi pengeluaran masyarakat, sehingga pengendalian inflasi akan memberikan dampak sosial yang besar untuk kesejahteraan masyarakat” Ujar Perry belum lama ini.
“Upaya sinergi antar daerah diperlukan untuk mencukupi kelangkaan pangan serta meningkatkan kapasitas produksi sebagai langkah antisipasi gejolak ketahanan pangan”.
“Kita perlu terus bergotong-royong dan bahu-membahu untuk memitigasi risiko inflasi, mengingat tingginya risiko inflasi pangan ke depan.” pungkasnya.
Sementara itu, Kantor Perwakilan Wilayah BI Provinsi Jawa Barat berkolaborasi dengan Pemkab Bogor melaksanakan program digitalisasi pada ekosistem desa serta program ketahanan pangan di Desa Gunung Putri, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor.
Program ini merupakan kegiatan dalam rangka mendukung Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan-Launching Digitalisasi Desa Gunung Putri dan mengakselerasi perekonomian Jawa Barat serta tercapainya visi Jawa Barat menjadi provinsi digital.
Oleh karena itu, diperlukan program pengembangan ekosistem ekonomi Jawa Barat yang mandiri, produktif, dan berdaya saing. Salah satunya melalui percepatan digitalisasi komprehensif di berbagai ekosistem.
Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Barat, Jeffri D Putra mengatakan, pihaknya berkomitmen terus bersinergi dengan pemerintah dalam upaya menjaga stabilitas harga dan daya beli masyarakat menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional.
Kebijakan moneter difokuskan untuk stabilitas (pro-stability), sementara 4 kebijakan lainnya, yakni makroprudensial, digitalisasi sistem pembayaran, pendalaman pasar uang, serta ekonomi-keuangan inklusif dan hijau terus diarahkan mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional (pro-growth).
“Hingga saat ini, UMKM atau penjual yang menggunakan QRIS di Jawa Barat ini jumlahnya sekitar 23% di tingkat nasional atau sekitar 4,3 juta merchant, kemudian pengguna QRIS di Jawa Barat sendiri itu sekitar 5,5 juta pengguna atau 26% dari 24,1 juta pengguna nasional. Jadi semakin sering QRIS digunakan UMKM atau merchant ini akan memudahkan perbankan menangkap profil UMKM, sehingga akan menambah credit point untuk mengajukan pembiayaan,” kata Jeffri, Kamis (26/8/2022).
Bank Indonesia bersama pemerintah pusat dan daerah, serta instansi terkait akan terus memperkuat sinergi Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) untuk menjaga stabilitas harga dan meningkatkan ketahanan pangan nasional sehingga mendukung daya beli masyarakat dan pemulihan ekonomi nasional.
Program ini nantinya mencakup fasilitas pengelolaan sampah, fasilitas pendukung ketahanan pangan, layanan payment point online banking, digitalisasi bank sampah, UMKM serta sarana prasarana desa. (****)











Discussion about this post