MADANIA.CO.ID – Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, “Allah berfirman, “Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan. Sungguh, Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan sungguh, (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka tertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka terpecah belah dalam urusan (agama)nya menjadi beberapa golongan. Setiap golongan (merasa) bangga dengan apa yang ada pada mereka (masing-masing).” (QS. Al-Mu’minun, 23: 51-53).
Islam sudah ada di bumi sejak manusia itu ada, yakni sejak diciptakannya manusia pertama, Adam a.s. Ibnu Abbas r.a. berkata, ‘Antara Nabi Adam dan Nabi Nuh berjarak sepuluh abad. Semua manusia pada masa itu sudah berpegang kepada Islam’.
Setelah itu terjadilah penyimpangan. Manusia menggantungkan diri kepada sesamanya. Mereka mengkultuskan orang-orang shaleh sehingga kemusyrikan pun menjalar di atas bumi. Inilah yang menjadi alasan Allah mengutus Nabi Nuh a.s. untuk mereka agar kembali menyembah Allah dan melarang menyembah kepada selain-Nya. Namun, Nabi Nuh dibantah oleh kaumnya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
“Maka berkatalah para pemuka orang kafir dari kaumnya, “Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, yang ingin menjadi orang yang lebih mulia daripada kamu. Dan seandainya Allah menghendaki, tentu Dia mengutus malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada (masa) nenek moyang kami yang dahulu. Dia hanyalah seorang laki-laki yang gila, maka tunggulah (sabarlah) terhadapnya sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Al-Mu’minun, 23: 24-25).
Dan dalam firman-Nya yang lain: “Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu, dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa, yaghuts, ya’uq, dan nasr.” (QS. Nuh, 71: 23).
Nama-nama yang disebutkan dalam ayat di atas semula adalah nama orang-orang shaleh kaum nabi Nuh a.s. Setelah mereka meninggal, setan membisikan kaum Nabi Nuh agar membuat patung-patung yang diberi nama dengan nama-nama mereka. Bukan itu saja, patung-patung itu pun akhirnya diagungkan dan dimuliakan mereka.
Inilah sejarah terjadinya pengeramatan terhadap orang-orang shaleh. Setan bukan saja mengajak manusia untuk mengeramatkan mereka, tapi juga menyembahnya, dalam arti menyembah kubur mereka. Setan telah menanamkan keyakinan ke dalam hati manusia bahwa dengan memuliakan, mengagungkan, dan mencintai kubur berarti kita mencintai penghuninya. Dan penghuni kubur inilah yang mengabulkan doa-doa kita. Jadi, kehendak Allah itu bisa terwujud melalui perantaraan meminta kepada seseorang makhluk-Nya. Demikianlah, kuburan akhirnya menjadi tempat sesembahan manusia. Mereka menyembah dan meminta karomah kepada ahli kubur sehingga jadilah kuburan dan penghuninya sebagai watsan (berhala) yang di sekelilingnya dipagari tembok. Manusia memberikan kurban atau sesajian sebagai tanda permohonan dan penyembahan kepada ahli kubur. Perbuatan ini tentu saja dilarang dalam Islam. Sebab, mereka telah menganggap para orang shaleh dan nabi sama dengan Rabb.
Karena itu, Allah memperingatkan hambanya untuk tidak berlebihan dalam hal agama. Allah melarang manusia untuk mengkultuskan manusia, baik melalui perkataan maupun perbuatan, sehingga menganggap derajat manusia sama dengan Allah. Sebagaimana firman-Nya, “Wahai Ahli Kitab, jangan kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al-Masih, Isa putera Maryam, itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) ruh daripada-Nya …” (QS. An-Nisaa’, 4:171).
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda, “Janganlah kamu mengkultuskan aku seperti orang-orang Nashrani mengkultuskan anak Maryam (Isa a.s.). Sesungguhnya aku adalah hamba Allah, maka katakanlah bahwa aku hamba Allah dan utusan-Nya.” (HR. Bukhari). Dalam hadits yang lain disebutkan, “Hindarilah dirimu dari berlebih-lebihan dalam hal agama. Sesungguhnya orang-orang yang binasa sebelum kamu disebabkan oleh berlebih-lebihan dalam hal agama.” (HR. Nasa’i).
Rasulullah Saw. melarang umatnya untuk menjadikan kuburan sebagai masjid. Beribadah di sisi kuburan orang-orang shaleh termasuk perbuatan menyembah mereka. Ummu Habibah dan Ummu Salamah r.a. berkata bahwa mereka berdua pernah melihat sebuah gereja di Habasyah yang penuh dengan lukisan, beliau bersabda, “Sesungguhnya jika terdapat seorang laki-laki shaleh yang meninggal, mereka membangun di atas kuburannya sebuah masjid, lalu digambar legenda-legendanya. Mereka itu adalah sejahat-jahatnya makhluk Allah di hari kiamat.” (HR. Bukhari).
Menjelang akhir hayatnya, Nabi Saw. memberi pesan kepada umatnya dengan sabdanya, “Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani lantaran mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid.” Aisyah menerangkan bahwa sabda beliau ini sebagai peringatan agar umatnya tidak berbuat seperti itu.” (HR. Bukhari). Dalam hadits yang lain disebutkan, “Ingatlah bahwa orang-orang yang hidup sebelum kamu menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shaleh dari kalangan mereka sebagai masjid. Ingatlah, jangan kamu ikut-ikutan pula untuk menjadikan kuburan sebagai masjid. Sesungguhnya aku melarang hal yang demikian.” (HR. Muslim).
Rasulullah juga melaknat orang-orang yang menjadikan kubur sebagai masjid. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia berkata, “Rasulullah saw. mengutuk para wanita penziarah kubur dan juga yang membangun di atasnya masjid dan yang memasang lampu penerang.” (HR. Nasa’i).
Rasulullah telah menjelaskan pula bahwa kuburan bukanlah tempat shalat. Siapa pun yang bershalawat kepada beliau akan sampai, baik orang tersebut dekat dari kuburan beliau atau pun jauh. Beliau juga telah melarang umatnya menjadikan kuburan sebagai tempat hari raya. Dalam hal ini beliau bersabda, “Janganlah kamu jadikan rumah-rumahmu sebagai kuburan, jangan pula kamu jadikan kuburanku sebagai tempat berhari raya, dan bershalawatlah untukku, sesungguhnya shalawatmu akan sampai kepadaku di mana pun kamu berada.” (HR. Abu Daud).
Rasulullah menutup rapat-rapat setiap pintu atau jalan kepada kemusyrikan. Dengan demikian, beliau melarang umatnya untuk mencampuradukkan tauhid dengan jenis kemusyrikan dan segala penyebabnya. Ada suatu riwayat bahwa seorang sahabat yang bernama Abu Hiyaj Al Asady berkata bahwa Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan kepadanya, “Ingatlah, aku mengutusmu sebagaimana Rasulullah saw mengutusku untuk memusnahkan patung-patung, meratakan kuburan-kuburan (dari kubah), dan tidak memuliakan atau mengagungkannya.”
Dari keterangan di atas, menurut Said bin Ali Al-Qahthani “bahwa ziarah kubur itu ada dua macam. _Pertama_ , ziarah yang dibolehkan menurut syara’ yang disebut masyru, yakni ziarah kubur yang bertujuan untuk mendoakan dan memberi salam ahli kubur (sama halnya dengan apa yang kita lakukan dalam shalat jenazah) dan untuk mengingat mati, mengingat akhirat. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, “Ziarahilah kuburan, niscaya engkau akan ingat akhirat, dan mandikanlah orang-orang yang mati, karena sesungguhnya mengurusi jasad yang tiada rohnya merupakan pelajaran yang meresap di hati. Dan shalatkanlah jenazah supaya engkau menjadi sedih karenanya, karena sesungguhnya orang yang sedih itu berada di bawah naungan Allah kelak di hari kiamat dan akan mendapati semua kebaikan.” (HR. Hakim). _Kedua_ , ziarah yang dilarang syara’, yakni ziarah yang menyebabkan syirik dan bid’ah. Namun, ada tiga macam tingkatan orang yang melakukan hal ini, yaitu:
1) siapa yang meminta atau memohon kepada mayit, ia sama dengan menyembah patung.
Sebagaimana Allah Swt. berfirman, “Katakanlah (Muhammad), “Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, mereka tidak kuasa untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak (pula) mampu mengubahnya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah).” (QS. Al-Isra’, 17: 56-57).
Al-Qahthani menerangkan ayat ini, bahwa semua orang yang berdoa kepada selain Allah, baik itu kepada Nabi, wali, orang shaleh, mayit atau makhluk gaib dengan menjadikan mereka sebagai sesuatu yang diseru selain Allah, padahal yang diseru itu mengharapkan adanya wasilah untuk dekat kepada Allah, mengharapkan rahmat-Nya dan takut dari azab-Nya, baik itu dengan lafazh istightsah (permohonan pertolongan) atau lainnya, maka sungguh yang demikian itu adalah syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari islam dan tidak diampuni oleh Allah Ta’ala, kecuali bila ia minta ampun.
2) Siapa yang meminta atau memohon kepada Allah dengan perantaraan mayyit yang dikeramatkan di kuburnya. Ini adalah perbuatan bid’ah yang diada-adakan di dalam islam. Banyak orang awam yang bertawassul (berperantara) dalam doa mereka kepada Allah Swt. dengan para Nabi dan orang-orang shaleh, seperti dikatakan: “Aku bertawassul kepada-Mu ya Allah dengan Nabi-Mu, atau dengan para Malaikat-Mu, atau dengan orang-orang shaleh daripada hamba-hamba-Mu ya Allah, atau dengan haknya Syaikh Fulan, atau dengan kehormatannya, atau aku bertawassul (mencari perantara untuk dekat) kepada-Mu dengan Lauhul Mahfudz dan Al-Qalam (yang menulis taqdir Allah)”, dan yang lainnya dari doa-doa yang mereka ucapkan. Semua ini termasuk dari bid’ah yang diada-adakan dan munkar. Namun, tidak sampai kepada tingkat syirik besar atau dikategorikan orang yang keluar dari Islam. Sedangkan tawassul yang diajarkan di dalam sunnah Nabi Saw. ialah bertawassul dengan Nama-Nama Allah (Asmaul Husna), sifat-sifat-Nya yang mulia, dan dengan amalan-amalan shaleh sebagaimana hal ini diberitakan dengan pasti di Shahih Bukhari maupun Muslim dalam kisah tiga orang yang terperangkap di gua dan tidak dapat keluar daripadanya.
3) Siapa yang menganggap bahwa berdoa di sisi kubur akan diijabah atau menganggap lebih utama daripada berdoa di masjid Allah, sehingga kuburan dituju untuk yang demikian, maka ia termasuk orang-orang yang berbuat munkar sebagaimana telah disepakati oleh para ulama dan para imam dengan tidak berselisihkan lagi. Karena perkara ini tidak disyariatkan oleh Allah dan tidak pula oleh Rasul-Nya, dan tidak dikerjakan oleh para tabi’in maupun para imam kaum Muslimin.
Berbagai penyebab syirik yang diperingatkan oleh Kalangan Ulama Syafi’iyah demi memelihara kemurnian tauhid yang dikutip oleh Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumayyis: “Imam Syafi’i dan para pengikutnya melarang semua perbuatan yang bisa mengantarkan seseorang kepada syirik, seperti mengapur kubur, meninggikan kubur, mendirikan bangunan di atasnya, memberikan tulisan di atasnya. Memberi penerangan (lampu) di atasnya, menjadikannya masjid, shalat di atasnya, menghadap kepadanya ketika berdoa, berthawaf terhadapnya, duduk di atasnya, mencium dan mengelus-elus dengan tangan, memasang atap di atasnya, dan berkata, “Demi Allah dan demi kehidupan,” atau berkata, “Apa-apa yang dikendaki Allah dan engkau.”
Lebih lanjut Imam Syafi’i berkata, semoga Allah merahmatinya, “Aku tidak suka membangun masjid di atas kubur, meratakannya, atau shalat di atasnya. Tidak boleh shalat menghadap ke kubur. Menurut beliau, dimakruhkan mengapur kubur, menulis nama penghuni kubur dan mendirikan bangunan di atasnya. Berkata pula beliau, “Aku telah melihat orang menghancurkan bangunan di atas kubur, sedangkan fuqaha tidak mencelanya karena perbuatan itu membodohi manusia”. ”Aku tidak suka mengagungkan seorang makhluk dengan menjadikan kuburnya sebagai masjid karena khawatir menimbulkan fitnah baginya dan bagi manusia lainnya.” “An-Nawawi berpendapat, “Dimakruhkan mengapur kubur, mendirikan bangunan di atasnya, dan menulis nama penghuni kubur. Seandainya ada kubur di atasnya, hancurkanlah”. *Wallahu* *a’lam* *bish-shawwab* .
Discussion about this post