Oleh Karsidi Diningrat
Merampas hak dan harta benda orang lain dengan cara bersaksi dan sumpah palsu adalah termasuk di antara dosa-dosa besar. Padanya terdapat ancaman-ancaman yang berat, dan sudah bukan rahasia lagi. Jika seseorang bersaksi dengan persaksian dan sumpah yang batil dan palsu, sedang ia telah mengetahui dan menduga keadaan yang demikian itu, maka kedua-duanya, yakni orang yang bersaksi dan bersumpah serta yang menyaksikannya, sama-sama berdosa. Orang yang bersaksi dan bersumpah menerima dosa yang sama, lantaran ia telah berani menjual akhiratnya dengan dunia untuk kepentingan orang lain.
Dalam banyak dalil disebutkan bahwa persaksian palsu disejajarkan dengan dosa syirik kepada Allah. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “… Maka jauhilah berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (QS. Al-Hajj, 22: 30).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Maukah aku beri tahukan kepada kalian dosa yang paling besar? Yaitu: syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, perkataan dusta, dan kesaksian dusta.” Beliau terus mengulanginya hingga kami berkata, “Seandainya beliau diam.” (HR. Muttafaq ‘Alaih). Dalam hadits yang senada disebutkan, “Ingatlah, aku akan memberitahukan kepada kalian tentang dosa yang paling besar, yaitu, “menyekutukan Allah, menyakiti kedua ibu bapak, dan perkataan (persaksian) dusta.’ (HR. Bukhari dan Muslim melalui Abu Bakrah). Dalam sabda yang lain dinyatakan, “Disejajarkan kesaksian palsu dengan bersyirik kepada Allah.” Beliau mengulang-ngulang sabdanya itu sampai tiga kali.” (Mashabih Assunnah).
Dalam sebuah hadist lagi disebutkan, “Tidak akan bergeser kedua kaki orang yang memberikan kesaksian palsu pada hari kiamat kelak hingga ditetapkan untuknya neraka.” (HR. Hakim). Seseorang yang melakukan saksi palsu sebelum kedua kakinya beranjak meninggalkan tempatnya, telah dicatat oleh Allah Swt. wajib masuk neraka. Hadis ini menunjukkan bahwa melakukan saksi palsu merupakan dosa besar.
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, mengatakan bahwa “kesaksian palsu ialah seseorang bersaksi dengan sesuatu yang menurut pengetahuannya tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Atau bersaksi dengan sesuatu yang ia tidak tahu bahwa perkaranya berbeda dengan fakta yang sebenarnya. Atau bersaksi dengan sesuatu yang ia ketahui bahwa perkaranya sesuai dengan faktanya namun dalam bentuk mustahil terjadi.”
Itulah tiga keadaan yang diharamkan bagi seseorang untuk bersaksi kecuali dengan sesuatu yang ia ketahui faktanya sesuai dengan pengetahuannya. Jika seseorang bersaksi dengan sesuatu yang ia ketahui bahwa perkaranya berbeda dengan fakta yang sebenarnya, seperti seorang yang bersaksi untuk orang lain bahwa ia meminta dari si fulan ini dan itu, padahal ia mengetahui bahwa orang tersebut berdusta, maka ini merupakan kesaksian palsu.
Orang yang memberikan kesaksian palsu mengira dirinya adalah orang yang bermanfaat bagi saudaranya, padahal ia sedang mendzalimi diri sendiri dan saudaranya. Ia mendzalimi diri sendiri karena ia berbuat salah dan berdosa telah melakukan salah satu dosa-dosa besar. Ia mendzalimi saudaranya karena ia telah memberinya sesuatu yang bukan haknya ia mengambil harta orang lain dengan cara batil.
Orang yang memberikan kesaksian palsu telah melakukan beberapa dosa besar di antaranya: 1) bohong dan mengada-ada. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang melampaui batas dan pendusta.” (QS. Al-Mukmin, 40: 28). Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa, “Seorang mukmin diciptakan dengan berbagai macam tabiat kecuali khianat dan dusta.” (HR. Ahmad). 2) Ia menzalimi orang dengan kesaksiannya. Sehingga harta, kehormatan, atau jiwanya terenggut akibat kesaksiannya. Dan dalam hadits yang lain disebutkan, “Dosa yang paling besar adalah menyekutukan Allah, membunuh jiwa, menyakiti ibu bapak, dan perkataan dusta.” (HR. Bukhari). Hadits ini memperingatkan kita agar tidak mengerjakan keempat perbuatan dosa yang paling besar itu.
3) Ia juga menzalimi orang yang ia bersaksi untuknya, yang menyuguhkan harta haram kepadanya. Lantas ia menerimanya, maka baginya api neraka.
Dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsipapa meminta suatu pertolongan kepada saudaranya, lalu ia memberikan hadiah (suap) lalu orang itu menerimanya berarti ia telah mendatangi salah satu pintu riba yang besar.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Uang suap sama dengan uang riba. Hadits ini melarang perbuatan menyuap dan ia mengancamnya sebagai perbuatan riba yang besar.
Dalam hadits yang lain Rasulullah Saw bersabda, “Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap, dan juga orang yang menjadi perantara di antara keduanya.” (HR. Ahmad dan Tsauban). Dan dalam hadits yang lain disebutkan, “Penyuap dan orang yang disuap dimasukan ke dalam neraka.” (HR. Thabrani).
Orang yang dikutuk oleh Allah Swt. dalam kasus penyuapan bukan hanya pelakunya saja, melainkan semua orang yang terlibat di dalamnya terkena laknat Allah, yaitu si penyuap, orang yang disuap, dan orang yang menghubungkan di antara kedua belah pihak.
Penyuapan merupakan perbuatan haram, pelakunya akan dimasukkan ke dalam neraka, bahkan dimasukkan pula ke dalamnya orang yang disuap. Berapa banyak kerusakan yang diakibatkan oleh perbuatan ini, dan yang paling parah ialah apabila dimaksudkan untuk melicinkan perkara yang batil dan menghambat perkara yang hak.
4) Ia menghalalkan harta, darah, dan kehormatan yang diharamkan oleh Allah dan dilindungi oleh-Nya. Rasulullah bersabda, “Setiap muslim atas muslim yang lain diharamkan harta, darah dan kehormatannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah shallallahu alaihui wa sallam telah bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza Wajalla menangguhkan azabnya terhadap orang zalim dan bila mengazabnya tidak akan luput. Kemudian Rasulullah membacakan doa dalam surat Hud ayat 102: “Dan begitulah azab Rabbmu apabila Dia mengazab (penduduk) negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.” (HR. Muslim).
Dan hadits yang lainnya disebutkan, “Allah Azza Wajalla berfirman (hadits Qudsi), “Dengan keperkasaan dan keagungan-Ku. Aku akan membalas orang zalim dengan segera atau dalam waktu yang akan datang. Aku akan membalas terhadap orang yang melihat seorang yang dizalimi sedang dia mampu menolongnya tetapi tidak menolongnya.” (HR. Ahmad).
Dalam suatu riwayat disebutkan, Rasulullah bersabda, “Tolonglah saudaramu baik dalam keadaan zalim mapun dizalimi.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami sudah biasa menolong orang yang dizalimi, lantas bagaimana kami menolong orang yang zalim?” Beliau menjawab, “Kau mencegahnya berbuat zalim, begitulah cara menolongnya.”
Imam Adz-Dzahabi mengatakan yang dikutip oleh Abu Abdirrahman Adil bin Sa’ad, bahwa yang termasuk dalam kategori perkataan dusta ialah kesaksian palsu. Allah telah menyebutnya sejajar dengan berhala-berhala yang najis (syirik kepada-Nya). Ini menunjukkan betapa besar dosa kesaksian dusta.
Dalam penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, tentang hadits di atas (HR. Muttafaq ‘Alaih dan HR. Bukhari dan Muslim melalui Abu Bakrah) bahwa kata ‘Alaa merupakan kata awalan yang digunakan Nabi untuk menarik perhatian. Oleh karena itu, beliau bersabda, “Maukah aku beritahukan kepada kalian dosa yang paling besar?” Mereka menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Ketika itu beliau duduk bersandar kemudian duduk dengan tegak – karena besarnya perkara yang akan beliau ucapkan. Beliau bersabda, “Ketahuhilah, perkataan dusta dan kesaksian dusta.” Nabi menganggapnya besar karena hal itu banyak terjadi di masyarakat dan manusia tidak memperhatikannya. Karenanya, beliau pun memperlihatkan kepada manusia betapa besarnya masalah ini.
Hadits ini menjadi dalil betapa besarnya dosa kesaksian palsu dan perkataan dusta. Hendaknya setiap orang bertobat kepada Allah dari memberikan kesaksian palsu. Karena hal tersebut mengandung kezaliman terhadap diri sendiri dan kezaliman kepada orang yang ia bersaksi untuknya.
Sumpah ialah bersumpah dengan nama-nama Allah Ta’ala atau sifat-sifat-Nya. Misalnya, seorang berkata. “Demi Allah, aku pasti mengerjakan ini,” atau mengatakan, “Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, atau demi Zat yang membolak-balikkan hati,” dan lain sebagainya.
Sumpah yang diperbolehkan ialah sumpah dengan nama-nama Allah Swt, karena Rasulullah Saw. bersumpah dengan nama Allah yang tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Dia. Beliau juga bersumpah dengan berkata, “Demi Zat yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya.” Malaikat Jibril juga bersumpah dengan keagungan Allah Swt, “Demi keagungan-Mu, tidak ada seorang pun yang mendengar tentang surga kacuali dia akan memasukinya.” (HR. At-Tirmidzi).
Sumpah yang tidak diperbolehkan ialah sumpah dengan selain nama-nama Allah Swt. dan dengan selain sifat-sifat-Nya; baik sesuatu yang digunakan untuk bersumpah itu sesuatu yang diagungkan seperti Ka’bah misalnya atau bahkan bersumpah dengan Nabi Muhammad Saw. Dalam hal sumpah ini Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa ingin bersumpah hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah, atau hendaklah ia diam.” (HR. Al-Bukhari). Dan dalam hadits-hadits yang lain juga disebutkan, “Janganlah kalian bersumpah kecuali dengan Allah dan janganlah kalian bersumpah kecuali kalian jujur.” (HR. Abu Dawud). “Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah, sungguh ia telah menyekutukan Allah.” (HR. Imam Ahmad). “Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah, sungguh ia telah kafir.” (HR. At-Tirmidzi). “Barangsiapa bersumpah tidak dengan (menyebut) nama Allah maka dia telah bersyirik.” (HR. Adailami).
Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang memperjualbelikan janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga murah, mereka itu tidak memperoleh bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan menyapa mereka dan tidak akan memperhatikan mereka pada hari kiamat, dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” (QS. Al- Imran, 3: 77).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Dosa-dosa besar itu adalah syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa, dan sumpah palsu.” (HR. Bukhari melalui Abdullah bin Amr).
Al-Hafizh al-Mundziri berkata, “Sumpah itu dinamakan ghamus (melemaskan), lantaran ia telah melepaskan tuannya di dalam lautan dosa di dunia, dan akan melemaskannya pada di dalam lautan api neraka di akhirat.
Al-Yamiin ghamuus ialah, sumpah palsu yang membuka jalan bagi seseorang untuk merampas harta dari hak saudaranya yang Muslim, sekalipun hanya sedikit saja, sehingga Nabi Saw. pernah bersabda, “Barangsiapa merampas hak orang muslim hasil sumpahnya maka Allah mengharamkan baginya masuk surga dan mewajibkannya masuk neraka. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, meskipun barang itu sedikit?” Nabi menjawab, “Meskipun hanya sebatang kayu arak (kayu yang digunakan untuk bersiwak/gosok gigi).” (HR. Muslim). Al-Yamiin ghamuus ialah sengaja bersumpah untuk berbohong. Dinamakan ghamuus karena membuat pelakunya menjadi berdosa, membenamkan pelakunya ke dalam dosa.
Sumpah inilah yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya, “Barangsiapa merampas hak saudaranya yang Muslim dengan sumpah palsu, niscaya ia dipersilahkan memilih tempatnya di dalam neraka.” Dalam hadits yang lain disebutkan, “Barangsiapa bersumpah dan ia berbohong di dalamnya untuk merampas harta orang Muslim tanpa hak (secara haram), kelak di hari kiamat akan bertemu Allah Swt., sedang Dia murka kepadanya.” (HR. Bukhari).
Menurut Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy mengatakan bahwa “Hukum sumpah ghamuus ialah tidak cukup dengan kafarat, tetapi juga harus dengan tobat dan beristighfar karena dosanya terlalu besar, terlebih ia menggunakan sumpah ghamuus tersebut untuk merampas kekayaan sesama Muslim dengan cara yang batil.”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “bahwa seseorang yang bersumpah dengan nama Allah wajib jujur di dalam sumpahnya, baik atas sesuatu yang berkenaan dengan dirinya maupun orang lain. Apabila ia bersumpah dengan sumpah palsu, yang dengan sumpahnya itu ia mengambil hak seorang muslim walaupun hanya sedikit, kelak ia akan bertemu dengan Allah pada hari kiamat dalam keadaan Allah murka kepadanya.”
“Adapun sumpah yang berkenaan dengan dirinya sendiri. Seperti dikatakan kepadanya, “Engkau telah berbuat demikian,” lantas ia berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah melakukannya!” Padahal ia berbohong. Jika orang ini berdusta, ia tidak terkena ancaman di atas, tetapi ia tetap berdosa. Ia mengumpulkan dosa berdusta dan bersumpah atas nama Allah dengan dusta, hukuman atasnya pun berlipat ganda.”
Rasulullah shallalalhu alaihi wa sallam telah bersabda, “Jangan bersumpah kecuali dengan nama Allah. Barangsiapa bersumpah dengan nama Allah, dia harus jujur (benar). Barangsiapa disumpah dengan nama Allah ia harus rela (setuju). Kalau tidak rela (tidak setuju) niscaya lepaslah ia dari pertologan Allah.” (HR. Ibnu Majaah dan Aththusi).
Seorang muslim hendaknya mengagungkan Allah, tidak memperbanyak sumpah dan kesaksian, apalagi bersumpah dan bersaksi palsu dan dusta. Jika kita bersumpah, bersaksi hendaknya kita jujur dan benar dalam sumpah dan kesaksiannya sehingga menjadi orang yang dapat dipercaya dalam setiap sumpah dan kesaksiannya, terhindar dari murka Allah, terhindar dari kezaliman, terhindar dari azab yang pedih dan terhindar dari syirik, terhindar dari dosa besar serta terhindar dari api neraka. Wallahu a’lam bish-shawwab.
Discussion about this post