Oleh Encep Dulwahab
Pavlik (2000) menyatakan bahwa profesi jurnalis dan jurnalistik sendiri, pada setiap fasenya tidak bisa lepas dari teknologi. Teknologi dipakai untuk meningkatkan performa dan semata-mata demi memenuhi kebutuhan masyarakat, juga agar mengikuti perkembangan zaman sehingga media tidak ketinggalan atau ditinggalkan khayalaknya.
Dalam perkembangan dari masa ke masa, di media cetak bisa melihat bagaimana teknologi percetakan untuk mencetak koran dari yang sederhana sampai yang berteknologi tinggi. Kemudian teknologi transmisi untuk mentransfer berita di media televisi, kamera yang digunakan televisi pun berkembang yang sangat cepat. Teknologi radio yang sekarang bisa dengan radio streaming. Sekarang dengan hadirnya internet menghadirkan jurnalisme on line, yang kemudian berkembang cepat dengan teknologi digital yang melahirkan jurnalisme digital dengan multiplatform.
Kehadiran teknologi yang diadopsi media massa, tidak hanya berdampak bagus, ada juga berdampak negatifnya. Untuk media digital saat ini yang begitu digandrungi masyarakat, juga tidak bisa menghindari sisi negatifnya. The centre for media transition dengan judul The Impact of Digital Platforms on News and Journalistic Content (2018) mengungkapkan bahwa hadirnya teknologi digital yang dipakai media massa, telah mengubah ekologi dalam bermedia.
Era digital ini mengubah media, yaitu para pengelola media massa dan pengguna medianya sendiri, yaitu audien atau masyarakatnya. Para pengeola media massa harus lebih proaktif yang super cepat terhadap perubahan pasar yang dinamis, dan pasar pun semakin aktif dengan berbagai isu yang sedang viral. Pasar sendiri yang bisa membuat dan mengembangkan isu.
Saat ini, entah media massa yang mengubah khalayak, atau khalayak yang mengubah isi-isi yang ada di media massa. Nampaknya antara media massa dan khalayak, saling mempengaruhi dan mengisi. Ada hubungan timbal balik, yang berbeda dengan dulu, di mana pasar pasif menunggu kiriman pesan dari media massa.
Logika algoritma
Dulu isi kepala khalayak dipengaruhi oleh pesan-pesan yang diberikan media massa, dan banyak agenda setting media yang kemudian didistribusikan kepada masyarakat. Namun sekarang kalau isi media massa mengikuti logika khalayak, bahkan sesuai dengan pesanan khalayak. Bagaimana kolom-kolom komentar yang saat ini ada di setiap pesan media massa, menjadi rujukan untuk tema liputan, tayangan atau konten berikutnya. Khalayak lebih banyak mengakses informasi yang sedang viral, maka istilah-istilah yang sedang viral ini pun, diburu para pengelola media massa dan para konten kreator untuk membuat tema-tema yang serupa.
Logika algoritma media sosial inilah yang menjadi dewa jurnalistik saat ini. Tekanan kualitas nampaknya dikesampingkan, dan tekanan kecepatan agar tidak ketinggalan yang viral ditambah. Ada berbagai clue yang harus ada dalam sebuah berita. Tekanan untuk mengejar isu yang sedang viral, cara mendapatkan data dan fakta pun semakin cepat dilakukan. Dalam liputan tidak lagi konvensional seperti pada media-media yang lahir dan hidup di era pra disrupsi dan pra digital.
Demi mengejar algoritma tersebut, banyak media massa yang melupakan akurasi dan mengandalkan narasi-narasi yang menyimpang dari konteks pemberitaan. Banyak fakta yang miring dalam sebuah narasi berita, walhasil banyak pula antara judul dan isi kontradiktif. Judul dibuat sebombastis mungkin, sementara isi banyak narasi-narasi yang terlalu bias.
Logika Pembaca
Sepakat dengan yang dikatakan Ashadi Siregar (Jurnalisme bagi Pers Digital, Kompas, 03 02 2023), bahwa media massa sekarang salah dalam pengelolaan. Para pengelola melupakan kalau jurnalisme bertolak dari motif melayani khalayak dengan memberikan informasi yang memberi kejelasan faktual dan pemberitaan sesuai kaidah kebenaran dan obyektivitas, bukan dengan menghadirkan informasi-informasi bombastis yang viral namun miskin akan faktualitas dan kebenaran.
Jangan dikira khalayak selamanya menerima logika algoritma, karena seiring waktu logika pembaca pun semakin kritis. Kalaulah disurvei pasar atau pembaca, bahwa khalayak sudah mulai jenuh dan jengkel dengan isi dari berita-berita yang banyak mengumbar cerita-cerita yang menyimpang dari fakta sesungguhnya. Ini sama saja dengan pembohongan publik, dan mengajarkan publik untuk membiaskan fakta dan rasionalitas di ruang publik. Inilah sejatinya peran dan fungsi media massa, yang pada hakikatnya menjaga nalar kritis dan rasional dalam kehidupan di ruang publik. Pembaca adalah orang yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, mereka akan terus mencari sesuatu yang benar.
Discussion about this post