Oleh Karsidi Diningrat
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengajian memiliki dua makna. Pertama, kegiatan dakwah untuk menanamkan norma-norma dan nilai-nilai agama. Kedua, kegiatan membaca Al-Qur’an. Dalam tradisi keislaman, pengajian kerap diistilahkan dengan majelis taklim. Dalam tradisi pesantren diistilahkan dengan halaqah, dalam tradisi tasawuf istilahnya adalah zawiyah.
Pengajian dalam bahasa Arab disebut at-ta’llimu asal kata ta’allama yata’allamu ta’liiman yang artinya belajar. Pengertian dari makna pengajian atau ta’liim mempunyai nilai ibadah tersendiri, hadir dalam belajar ilmu agama bersama seorang aalim atau orang yang berilmu merupakan bentuk ibadah yang wajib setiap muslim.
Sedangkan menurut istilah, pengajian adalah penyelenggaraan atau kegiatan belajar agama Islam yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat yang dibimbing atau diberikan oleh seorang guru ngaji (da’i-da’iyah) terhadap beberapa orang.
Pengajian agama merupakan salah satu bentuk kegiatan dakwah atau tabligh, karena di dalam pengajian itu sendiri tidak kepas dari usaha penyampaian ajaran-ajaran Islam dalam rangka mengajak atau membina umat manusia untuk senantiasa berada di jalan Islam, sehingga tercapai kedamaian dan kebahagiaan di dunia dan di akherat.
Sebaik-baiknya Majelis adalah Masjid
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Seburuk-buruk majelis (tempat berkumpul) adalah pasar dan jalan; dan sebaik-baik majelis adalah masjid; apabila engkau tidak duduk di masjid, maka diamlah di rumahmu.” (HR. Thabrani melalui Wa-ilah). Tempat yang paling buruk ialah pasar dan jalanan, dan tempat yang paling baik ialah masjid. Yang dimaksud dengan pengertian majelis ialah tempat berkumpul selain di dalam rumah.
Fungsi-fungsi yang diberikan Rasulullah kepada mesjid menjadikan mesjid dalam kurun beliau: pusat kehidupan masyarakat. Dipandang dari kacamata addin, mesjid merupakan lembaga pertama dan utamanya, yakni pusat ibadat dan mu’amalat. Dengan istilah modern dapat dikatakan, mesjid adalah pusat agama dan kebudayaan. Kehidupan masyarakat berpangkal di mesjid dan berujung di mesjid. Kebudayaan merupakan pola cita kehidupan masyarakat. Pola cita itu dibentuk di mesjid. Pola cita ditumbuhkan dengan pengamalan ibadat di mesjid.
Malaikat mengelilingi orang yang menyebut nama Allah dalam majelis, sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Tiada suatu kaum pun mengingat nama Allah (dalam suatu majelis) melainkan para malaikat mengelilingi mereka dan mereka diselimuti oleh rahmat Allah, serta ketenangan diturunkan atas mereka, dan Allah menyebutkan mereka kepada malaikat-malaikat yang berada di dekat-Nya.” (HR. Ibnu Majah melalui Abu Sa’id). Dalam hadis lain disebutkan, “Apabila kamu melewati taman-taman surga, minumlah hingga puas. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud taman-taman surga itu? Nabi Saw. menjawab, “majelis-majelis taklim.” (HR. Athabrani).
Hukum Menuntut Ilmu
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim; sesungguhnya orang yang menuntut ilmu itu dimintakan ampunan baginya oleh semua makhluk hingga ikan-ikan yang ada di laut.” (HR. Abdul Barr melalui Anas, r.a.). Dalam hadis lain disebutkan, “Menuntut ilmu wajib atas tiap muslim (baik muslimin maupun muslimat).’ (HR. Ibnu Majah).
Menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Menuntut ilmu agama hukumnya fardhu ‘ain; sedangkan menuntut ilmu yang menyangkut kemashlahatan umum, hukumnya fardhu kifayah. Segala sesuatu ikut mendoakan orang yang sedang menuntut ilmu dan memintakan ampun kepada Allah untuknya sehingga semua ikan yang ada di laut pun ikut memohonkan ampunan baginya.
Ketahuilah bahwa melengkapi diri dengan ilmu pengetahuan adalah fardhu ‘ain atas setiap muslim dan Muslimah. Karenanya, tidak ada alasan sama sekali bagi setiap Muslim dan Muslimah untuk mengabaikannya. Adapun ilmu pengetahuan yang dimaksudkan adalah, ilmu yang tanpanya tidak akan sah iman dan Islam kita. Tegasnya ialah ilmu mengenai Tuhan, Rasul, hari akherat, dan ilmu yang diwajibkan Allah Swt. mengetahuinya untuk menunaikan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Tegasnya, wajib atas setiap Muslim mengetahui segala perkara fardhu ‘ain, segala perkara yang diharamkan dan mudah manusia terperangkap ke dalamnya seperti zina, minuman keras, liwath, dan lain-lain.
Undangan dan Kehormatan dari Allah
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia membuatnya memahami agama dan membuatnya berzuhud terhadap duniawi, lalu Dia memperlihatkan kepadanya aib-aib dirinya.” (HR. Baihaki melalui Anas r.a.).
Bilamana Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba-Nya, niscaya Allah memberinya petunjuk untuk dapat memahami agama karena agama akan membawanya kepada kebaikan di dunia dan akhirat. Dan niscaya Allah menjadikannya sebagai orang yang berzuhud terhadap duniawi karena dunia itu pasti lenyap, sedangkan pahala amal saleh tetap kekal di sisi-Nya, Hal ini tidak heran mengingat pemahaman agamanya yang mendalam sehingga harta duniawi menurut pandangannya tiada artinya dibandingkan dengan pahala ukhrawi. Bila Allah memberinya rezeki yang banyak, ia sampai kepada tingkatan zahid, niscaya ia akan dapat melihat aib dan kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya, lalu ia segera bertaubat dan memperbaiki dirinya. Hadis ini menerangkan tentang keutamaan belajar agama, berzuhud terhadap masalah duniawi, dan memperbaiki diri dengan amal-amal saleh.
Dalam hadits yang lain disebutkan, “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia membukakan baginya kunci hatinya, dan Dia menjadikan di dalamnya keyakinan dan kejujuran. Dia menjadikan kalbunya selalu menyadari apa yang ia tempuh, dan Dia menjadikan kalbunya selamat, lisannya jujur, akhlaknya lurus, dan Dia menjadikan telinganya berpendengaran tajam, dan matanya berpenglihatan tajam.”
Dibukakan Hatinya
Hadits ini mempunyai makna yang berkaitan dengan hadis di atas yang menyatakan bahwa apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, Dia membuatnya memahami agama, ber-zuhud terhadap duniawi, dan Dia memperlihatkan kepadanya aib-aib dirinya. Dalam hadis ini dinyatakan bahwa bilamana Allah menghendaki kebahagiaan bagi hamba-Nya, niscaya Dia membukakan kunci hatinya, hingga yang bersangkutan dapat memahami agama dengan pengertian yang mendalam. Setelah itu di dalam kalbunya akan tertanam keyakinan yang mantap dan kepercayaan yang teguh sehingga ia dapat mengetahui bahwa hidupnya di dunia hanyalah sementara dan rumah di dunia ini tiada lain merupakan rumah cobaan, sedangkan kehidupan yang abadi adalah di akhirat. Oleh sebab itu, maka ia lebih memilih perkara ukhrawi daripada perkara duniawi.
Kemudian Allah menjadikannya selalu menyadari terhadap apa yang ia tempuh sehingga menyadari kesalahan dan kekeliruan yang dilakukannya, lalu segera diperbaikinya. Bilamana sudah sampai kepada tingkatan ini maka hatinya menjadi selamat (bersih) dan tidak dikeruhi oleh noda-noda dosa; lisannya jujur, akhlaknya lurus; telinganya mau mendengar petunjuk dan hidayah; dan pandangan matanya tajam terhadap hal-hal yang mengandung manfaat di dunia dan akhirat, lalu ia segera mengerjakannya, serta tajam terhadap hal-hal yang mengandung mudarat (bahaya) di dunia dan akhirat, lalu ia segera meninggalkannya atau menjahuinya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian memasuki suatu kaum lalu dipersilahkan baginya, hendaknya ia duduk, karena sesungguhnya tiada lain hal itu merupakan suatu penghormatan dari Allah yang diberikan kepadanya melalui saudaranya yang sesama muslim. Apabila tidak dipersilahkan baginya, maka hendaknya ia melihat tempat duduk yang paling longgar, lalu duduklah ia di tempat tersebut.” (HR. al-Harits melalui Abu Syaibah al-Khudri).
Hadits ini menerangkan etika duduk di dalam suatu majelis, yaitu apabila mereka (kaum) mempersilahkannya untuk duduk di tempat duduk yang disediakan untuknya, maka hendaknya ia duduk di tempat tersebut. Akan tetapi, apabila ia tidak menemukan tempat duduk, maka hendaklah ia duduk di tempat yang kosong.
Pahala Mencari Ilmu
Rasulullah Saw. bersabda, “Bersegeralah kalian untuk mencari ilmu (agama) karena satu hadis yang dikemukakan oleh orang yang jujur merupakan hal yang lebih baik daripada dunia dan emas serta perak yang ada di dalamnya.” (HR.ar-Rafi’i). Dalam hadis yang lain disebutkan, “Orang yang menuntut ilmu berarti menuntut rahmat; orang yang menuntut ilmu berarti menjalankan rukun Islam dan pahala yang diberikan kepadanya sama dengan pahala para nabi.” (HR. Dailami dari Anas, r.a.).
Pahala mencari ilmu sangat besar sehingga suatu hadis yang di dapat dari orang yang dipercaya mengatakan bahwa pahalanya jauh lebih baik daripada dunia dan seisinya. Dalam hadis dahulu disebutkan bahwa segala sesuatu memintakan ampun untuk orang yang sedang menuntut ilmu; ikan-ikan yang ada di laut pun ikut memintakan ampun untuknya. Seorang penuntut ilmu, khususnya ilmu agama, berarti menuntut rahmat dan melakukan rukun Islam, pahalanya diberikan bersama-sama dengan para nabi.
Dalam hadis lain disebutkan, “Berpagi hari dan bersore hari untuk mencari ilmu (pahalanya) lebih baik daripada berjihad di jalan Allah.” (HR. ad-Dailami melalui Ibnu Abbas r.a.). Dan dalam hadis lain disebutkan, “Barang siapa keluar untuk mencari ilmu (agama), berarti ia berada di jalan Allah hingga kembali.” (HR. Turmudzi).
Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa berangkat berjihad di jalan Allah jauh lebih baik pahalanya daripada dunia dan seisinya. Akan tetapi, dalam hadis ini disebutkan bahwa lebih besar lagi pahala orang yang menuntut ilmu, khususnya ilmu agama.
Imam Baihaqi mengatakan, “diantaranya yang paling penting ialah mencari ilmu tauhid, serta ilmu agama lain yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Ilmu agama yang dimaksud misalnya ilmu fiqih yang berhubungan dengan hukum pengadilan dan hukum-hukum lainnya. Demikian pula, ilmu yang mengatur tata cara mendapatkan suatu hukum dari Kitabullah dan Hadits Nabi, dan yang menentukan syarat-syarat ijtihad.” Sedangkan Ibnu Qudamah mengatakan, “ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu mu’amalah hamba dengan Rabbnya. Mu’amalah yang dibebankan kepada hamba ada tiga macam: keyakinan, perbuatan, dan hal-hal yang harus ditinggalkan.”
Menyesal di Akhirat
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Orang yang paling menyesal di hari kiamat adalah seseorang yang mendapat kesempatan untuk mencari ilmu (agama) ketika hidup di dunia tetapi ia tidak mau mencarinya, dan seseorang yang mengajarkan ilmu (agama) lalu yang diajarnya memanfaatkan (mengamalkan)nya sedangkan ia sendiri tidak.” (HR. Ibnu Asakir memalui Anas r.a.).
Kelak di hari kiamat orang yang paling kecewa adalah orang yang menyia-nyiakan umurnya tanpa mencari ilmu agama, padahal kesempatan sudah terpenuhi baginya. Dikatakan demikian karena ia tidak dapat menemui pahala amalnya, sebab syarat utama diterimanya amal ialah ilmu, seperti yang dikatakan oleh seorang ulama bahwa setiap orang yang beramal tanpa ilmu, maka amalnya tidak diterima. Dan orang yang paling kecewa lainnya kelak di hari kiamat adalah orang yang tidak memanfaatkan atau mengamalkan ilmunya, melainkan orang yang mendengar darinyalah yang mengamalkannya. Ia merasa kecewa karena dia yang mengajarkannya tetapi tidak memperoleh pahala, sedangkan orang yang diajarinya memperoleh pahala berkat amalnya.
Padahal seandainya ia mengamalkan ilmunya, niscaya pahalanya akan jauh lebih besar daripadanya. Akan tetapi, bukan rasa kecewa saja yang bakal dialaminya, bahkan sebaliknya ia mendapat siksaan yang pedih.
Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Jadilah kamu seorang pengajar, atau pelajar, atau mendengarkan (ilmu), atau mencintai (ilmu), dan janganlah kamu menjadi orang yang kelima, kamu pasti menjadi orang yang celaka.” (HR. Imam Baihaqi). Yang dimaksud dengan orang yang kelima adalah bukan sebagai pengajar, pelajar, gemar mendengarkan pengajian, dan bukan pencinta pengajian, melainkan sebagai orang yang bodoh. Fatahlika, karena kamu pasti celaka. Makna yang dimaksud ialah janganlah engkau menjadi orang yang bodoh (dalam masalah agama) karena akibatnya engkau pasti celaka, baik di dunia maupun di akhirat.
Seorang muslim harus mengetahui hukum. Jika tidak, maka ia mudah tergelincir ke dalam perkara yang dimurkai Allah Swt., suka atau tidak suka. Sebab, seorang yang bodoh, senantiasa mudah terperosok dalam kemurkaan Allah Swt. dan terbenam dalam kecelakaan, disebabkan kebodohannya. Betapa tidak! Mungkin, perkara yang wajib dikiranya haram dan dikatakan tidak wajib. Sebaliknya, yang haram dianggap wajib sebagai suatu ketaatan, sehingga dikatakan tidak haram.
Terperangkap Kebodohan
Itulah puncak bahaya dan mudharat bagi orang-orang yang bodoh. Tidak aneh, jika mereka terperangkap dalam perkara-perkara yang bisa menarik mereka kepada kekufuran disebabkan kebodohan sendiri. Atau mungkin, perkara itu sendiri adalah kekufuran, sebagaimana terbukti dari ikhwal dan keadaan mereka, atau dari perbuatan dan percakapan mereka. Tuhan tidak akan menerima alasan apa pun dari mereka di kemudian hari. Karena, Allah Swt. telah memerintah mereka agar menuntut ilmu, dan telah memudahkan cara-cara dan sebab-sebab yang mengantarkan ke tujuan itu. Tuhan juga telah mewajibkan para ulama agar memberikan pengajaran kepada mereka. Jika mereka masih acuh dan lalai pula sesudah itu, maka jelaslah bahwa hati dan jiwa mereka terlampau menggantungkan dan menyayangi dunia, sehingga jiwa mereka tunduk-takluk di bawah kungkungan hawa nafsu. Lalu, bertambah jauhlah mereka dari Allah Swt., sehingga terkutuklah mereka dan tersingkir dari nikmat dan rahmat-Nya.
Oleh karena itu, janganlah kita menjadi salah seorang dari kedua orang tadi yakni, seorang bodoh yang enggan belajar, ataupun seorang alim yang tidak beramal dengan ilmunya, kelak kita akan celaka. Ketika itu, kita akan merugi serugi-ruginya di dunia dan di akhirat, dan itulah yang dikatakan sebagai kerugian yang nyata. Wallahu a’lam bish-shawwab. ***
Discussion about this post