Oleh Muhammad Dwiky Febriansyah, S.Mat
MUHAMAD Ali Imron adalah seorang guru Al-Qur’an yang lahir di Bekasi pada tanggal 23 Juni 1989. Beliau menempuh pendidikan di MA Yapink (Yayasan Pendidikan Nurul Kasyaf), Tambun, Bekasi, dan saat ini sedang menempuh kuliah di Universitas PTIQ Jakarta, jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Dalam pendidikan Al-Qur’an, beliau seorang hafidz Al Quran 30 Juz dan pemegang Sanad bacaan Qiroat ‘Asyr. Beliau merupakan lulusan Pesantren Al-Qur’an Yanbu’ul Quran, Kudus, Jawa Tengah.
Beberapa prestasi yang beliau raih adalah sebagai pemegang sanad hafalan Al-Qur’an 30 juz melalui jalur KH. Ulin Nuha Arwani – KH. Arwani Amin Kudus, serta pemegang sanad baca Qiroat ‘Asyr melalui jalur Mesir dari KH. Agus Salim. Beliau juga aktif sebagai pengajar tahsin di RTQ AQL Al Imron Parung, pengajar tadabbur Al-Qur’an di Akademi Tadabbur Al-Qur’an (ATQA), dan pengajar di SMP-SMA AQL Islamic School. Beliau telah membimbing ratusan muridnya dalam menghafal Al-Qur’an, banyak di antaranya berhasil melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri maupun luar negeri, baik untuk Ilmu Umum maupun Ilmu Agama.
Proses menghafal Al-Qur’an dimulai sekitar tahun 2005 dan secara penuh dilakukan pada tahun 2006 saat beliau memasuki pesantren tahfiz. Motivasi utama beliau berasal dari orang tua yang selalu mengingatkan bahwa seorang penghafal Al-Qur’an dapat memberikan syafaat kepada keluarganya dan memberikan mahkota kemuliaan kepada orang tua di akhirat kelak.
Motivasi kedua beliau terinspirasi dari Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 207 yang menyatakan
Artinya : “Dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridhaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” Ayat ini menunjukkan pengorbanan dan dedikasi yang tinggi dalam keimanan. Beliau menekankan bahwa mengorbankan diri untuk mencapai keridhaan Allah adalah hal yang sangat mulia, dan dalam konteks penghafalan Al-Qur’an, mengorbankan waktu, tenaga, dan segala hal hanya untuk meraih keridhaan Allah adalah sebuah kebanggaan.
Dalam diskusi, beliau mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara menghafal dan tidak menghafal Al-Qur’an, baik secara spiritual maupun secara emosional. Ketika seseorang menghafal Al-Qur’an, Al-Qur’an akan menjadi pelindung dari perbuatan-perbuatan buruk yang mungkin dilakukan. Selain itu, saat sedang down, Al-Qur’an menjadi sumber semangat yang menguatkan. Secara spiritual, pengaruhnya mencakup kekhusyuan dalam beribadah dan memberikan dampak positif pada lingkungan sekitar.
Kedekatan beliau dengan Al-Qur’an sangat mempengaruhi kualitas pengajarannya kepada para murid. Semangat spiritual dan emosional yang dimiliki tersampaikan dengan baik kepada mereka. Semua murid di pondok menghormati dan mematuhi beliau, bahkan para guru pun merasa mendapatkan sosok seorang murrabi. Setiap kali ada permasalahan, baik dari murid maupun guru, mereka sering berkonsultasi dengan beliau untuk meminta nasihat dan arahan dalam menghadapi setiap ujian.
Tantangan terbesar dalam menghafalkan Al-Qur’an adalah menjaga konsistensi dan keistiqomahan.
Setiap orang memiliki fokus yang berbeda-beda dalam menghafal, terkadang menghasilkan jumlah hafalan yang berbeda. Distraksi dari dalam diri atau lingkungan, juga dapat mengganggu fokus sehingga waktu untuk mengulang atau menambah hafalan tidak termaksimalkan. Untuk mengatasi hal tersebut, beliau menyarankan untuk memiliki program yang mengikat dalam menghafal seperti mengikuti program murojaah dan setoran harian kepada Guru, baik secara langsung maupun secara online. Serta memanfaatkan waktu-waktu yang tepat, seperti sebelum atau sesudah sholat subuh dan mengulang-ngulang hafalan di dalam sholat.
Guru Al-Qur’an memiliki peran sebagai penyeimbang dalam masyarakat yang terpengaruh oleh dunia materialis. Mereka menjadi pengingat akan akhirat. Fakta bahwa sebagian besar masyarakat Muslim di Indonesia belum memiliki literasi Al-Qur’an yang baik menunjukkan pentingnya peran para Guru Al-Qur’an dalam membimbing dan mengajarkan cara membaca Al-Qur’an sesuai dengan kaidah dan tajwid sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Keyakinan pada Al-Qur’an juga memberikan kekayaan mental dan hati. Dengan banyaknya penghafal Al-Qur’an, diharapkan akan banyak pemimpin negara yang amanah, jujur, dan adil dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin.
Sejak SMA, beliau sudah senang mengajar, sehingga ketika masih di SMA, beliau sering mengajari teman-teman di kelas. Setelah lulus dari Qudus, beliau mengabdi selama 2 tahun. Setelah itu, beliau sempat bekerja di travel umroh dan haji, dengan jadwal dari pagi hingga sore untuk bekerja kantoran, dan malamnya dimaksimalkan untuk mengajar Al-Qur’an. Memang, mengajar adalah suatu kesenangan baginya, sehingga selelah apapun bekerja, mengajar tetap menjadi salah satu obatnya..
Pada masa sahabat Utsman bin Affan, terjadi kodifikasi Al-Qur’an yang kemudian dibakukan penulisannya. Beliau juga membuat mushaf babon dan mengirimkannya ke berbagai wilayah, bersama dengan seorang pengajar di setiap wilayah. Mushaf yang dikirim memiliki perbedaan dalam cara bacanya. Di Kuffah, mushaf dikirim bersama seorang pengajar bernama Abdurrahman As-Sulami, seorang tabi’in. Abdurrahman As-Sulami kemudian mengajar di Masjid Kuffah hingga menjadi seorang yang sepuh atau syeikh, dan terus mengajar Al-Qur’an.
Suatu hari, seorang pemuda bertanya kepada Abdurrahman As-Sulami, “Wahai syeikh, mengapa engkau bertahan mengajar Al-Qur’an sampai lebih dari 40 tahun?”
Lalu sang syeikh membacakan sebuah hadist
“خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ”
Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari).
Lalu beliau melanjutkan “Hadits inilah yang membuat saya duduk di tempat ini untuk mengajarkan Al-Qur’an”. Mayoritas bacaan Al-Qur’an di Indonesia, yaitu riwayat Hafs dari Ashim, diajarkan melalui jalur Abdurrahman As-Sulami”.
Pengalaman paling berkesan bagi Ustadz Ali Imron selama menjadi pengajar Al-Qur’an adalah ketika Allah memberinya kesempatan untuk melihat hasil dari usahanya. Dulu, beliau memiliki seorang murid yang dibimbing langsung dalam menghafal Al-Qur’an, kemudian murid tersebut melanjutkan studi ke Sudan. Saat muridnya kembali, ia ikut mengabdi di tempat Ustadz Ali Imron. Allah memperlihatkan langsung hasil dari usaha beliau, dan betapa bahagianya seorang guru melihat muridnya kini mengajar apa yang dulu ia ajarkan. Itulah hal yang paling membahagiakan dari seorang Guru Al-Qur’an yang inspiratif.
Dari Ustadz Muhammad Ali Imron, kita belajar tentang keikhlasan, dedikasi dan pengorbanan seorang guru Al-Qur’an yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kebaikan dan keimanan dalam hati murid-muridnya. Perjalanannya adalah inspirasi bagi kita semua untuk terus berjuang dan mengabdi demi kebaikan umat. Lantas, Sudahkah kita berkontribusi dalam mengamalkan Al-Qur’an? Sudahkah kita membacanya setiap hari, ataukah kita bahkan jarang membukanya?***
Penulis, Magister Pendidikan Matematika, FPMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
Discussion about this post