Padang, madania.co.id — Di antara puing, lumpur, dan suara mesin ekskavator yang tak kunjung berhenti, mobil rombongan Bio Farma Group berhenti tanpa seremoni.
Tidak ada baliho sambutan, tak ada panggung darurat. Yang terlihat hanya kardus-kardus logistik kesehatan yang diturunkan cepat dari bagasi seakan waktu menjadi barang paling mahal di tanah bencana.
Banjir bandang dan longsor yang melanda Sumbar pada pekan terakhir November memutus jalan, menggilas permukiman, dan menyisakan ancaman tak kalah serius: potensi wabah penyakit.
Dari diare, infeksi kulit, hingga tetanus—jenis penyakit yang sering muncul tanpa suara, tetapi mematikan di situasi pengungsian.
Di titik ini, Bio Farma Group turun tangan. Bukan dengan jargon, tetapi serum anti-tetanus, vaksin tetanus–difteri, antibiotik, vitamin, salep antiseptik, dan perlengkapan P3K.
Di lapangan, barang-barang itu berarti satu hal: pencegahan sebelum krisis benar-benar pecah.
Komisaris Bio Farma, dr. Relly Reagen, memimpin langsung distribusi bantuan saat mendampingi Kepala BP BUMN Dony Oskaria meninjau Desa Kasai, salah satu kawasan terdampak terparah.
“Kami mewakili BUMN kesehatan siap hadir memberikan dukungan bagi masyarakat terdampak bencana di Sumatera Barat. Bio Farma menyalurkan serum anti-tetanus dan vaksin tetanus–difteri, sementara Kimia Farma dan Indofarma memastikan ketersediaan obat-obatan, vitamin, serta perlengkapan P3K di lapangan.
Kami berharap bantuan ini dapat meringankan beban warga dan mempercepat proses pemulihan,” ujar dr. Relly.
Kehadiran mereka tidak mencolok, tetapi ritme kerjanya jelas: cepat, teknis, dan presisi. Posko BUMN di Bandara Internasional Minangkabau menjadi nadi distribusi logistik kesehatan.
Dari sana, bantuan bergerak menuju titik-titik yang paling rawan.
Bupati Padang Pariaman, John Kenedy Azis, menyebut langkah cepat ini sebagai “intervensi kesehatan yang relevan”.
“Kehadiran Bio Farma Group sangat berarti bagi warga kami yang sedang berupaya bangkit dari bencana ini,” katanya.
Namun, lebih jauh dari tumpukan obat dan vaksin, ada konteks yang tak bisa dilepas yakni politik tanggap bencana. Dalam setiap bencana besar, BUMN, kementerian, dan pemda sering berada dalam satu orbit koordinasi, dan kecepatan eksekusi bisa menjadi tolok ukur kepemimpinan.
Kepala BP BUMN, Dony Oskaria, tak melewatkan momentum itu.
“Kami sangat mengapresiasi kehadiran BUMN di bidang kesehatan yang sigap membantu masyarakat. Ke depan, Bio Farma Group diharapkan terus menjadi garda terdepan dalam aksi tanggap bencana,” ujarnya.
Di balik pernyataan itu, tersirat pengakuan bahwa sektor kesehatan BUMN kini bukan hanya produsen vaksin atau obat. Mereka juga menjadi ujung tombak diplomasi kemanusiaan negara—penanda bahwa negara hadir bukan dalam bentuk seremoni, tetapi lewat ampul vaksin, kotak antiseptik, dan respons cepat di titik bencana.
Sinergi antara pemerintah daerah, BNPB, BPBD, dan BUMN kesehatan memperlihatkan satu hal yang sering luput: pemulihan kesehatan masyarakat adalah fondasi dari pemulihan sosial. Dan di desa-desa yang masih berkubang lumpur, peran seperti itu tidak hanya strategis—tetapi mendesak.
Bio Farma Group, dalam misi yang tampak sunyi namun terukur ini, menunjukkan bahwa ketahanan kesehatan nasional tidak hanya dibangun di laboratorium dan gedung produksi. Ia ditempa di medan bencana, di antara bau tanah basah dan risiko penyakit yang setiap hari mengintai para penyintas.***











Discussion about this post