Bandung.Madaniacoid – Indonesia tengah berdiri di ambang peluang besar dalam sejarah demografinya. Komposisi penduduk usia produktif (15–64 tahun) yang mendominasi populasi nasional menawarkan potensi luar biasa untuk pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Namun, seperti diingatkan para ahli, peluang ini hanya akan jadi kenyataan bila dikelola secara serius, terencana, dan inklusif.
Salah satu upaya pemerintah dalam merespons fenomena ini adalah melalui Grand Design Pembangunan Kependudukan (GDPK), sebuah dokumen strategis jangka panjang yang dirancang untuk memastikan bonus demografi benar-benar menjadi kekuatan pembangunan bangsa.
Apa Itu Bonus Demografi?
Bonus demografi terjadi ketika jumlah usia produktif jauh lebih besar dibanding usia non-produktif. Fenomena ini merupakan momen langka yang hanya terjadi sekali dalam sejarah suatu negara.
“Bonus demografi bukan hadiah otomatis, tapi peluang yang harus dipersiapkan dan dirancang secara matang,” kata Prof. Budi Setiyono, S.Sos., M.Pol. Admin., Ph.D, Sekretaris Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN, saat ditemui dalam agenda dialog kependudukan di Bandung.
Jika dikelola dengan baik, lanjut Prof. Budi, Indonesia dapat:
1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi
2. Menurunkan angka pengangguran
3. Mendorong inovasi dan produktivitas nasional
4. Meningkatkan daya saing global
Ancaman Nyata: Stunting dan Rendahnya Kualitas SDM
Meski menyimpan potensi besar, Indonesia juga menghadapi tantangan serius—salah satunya tingginya angka stunting.
Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2023, prevalensi stunting masih di angka 21,6%. Jauh di atas target WHO yang menetapkan ambang batas maksimal 20%.
“Stunting adalah ancaman nyata bagi bonus demografi. Anak-anak yang stunting hari ini adalah generasi usia produktif 20 tahun mendatang. Kalau kualitasnya rendah, maka bonus ini akan berubah menjadi beban,” tegas Prof. Budi.
Stunting bukan hanya persoalan gizi, melainkan juga indikator kualitas pembangunan keluarga dan layanan dasar. Anak yang stunting cenderung mengalami keterlambatan kognitif, gangguan kesehatan, hingga produktivitas rendah saat dewasa.
GDPK: Menyatukan Sektor, Menguatkan Keluarga
GDPK mengedepankan pendekatan lintas sektor sebagai kunci keberhasilan. Pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan perencanaan keluarga harus bergerak serempak dalam satu visi pembangunan berwawasan kependudukan.
“Kita tidak bisa bekerja sendiri. GDPK mendorong semua sektor untuk bersinergi—dari pusat hingga daerah, dari kementerian hingga masyarakat,” terang Prof. Budi.
Keluarga menjadi titik awal. Pemerintah menempatkan keluarga sebagai subjek utama pembangunan.
“Pembangunan keluarga adalah fondasi dari pembangunan nasional. Kita butuh keluarga yang sehat, terencana, dan berkualitas untuk mencetak generasi unggul,” tambahnya.
Menuju Indonesia Emas 2045
Pemerintah menargetkan Indonesia menjadi negara maju pada 2045. Namun capaian ini tak bisa dicapai tanpa kesiapan SDM dan perencanaan kependudukan yang kuat.
“Bonus demografi adalah momentum sekali seumur hidup. Kalau tidak kita manfaatkan sekarang, maka dampaknya bisa kita rasakan puluhan tahun ke depan dalam bentuk krisis tenaga kerja, beban sosial, dan ketimpangan ekonomi,” pungkas Prof. Budi.
Prof. Budi menambahkan, pembangunan berwawasan kependudukan bukan soal banyaknya penduduk, melainkan tentang kualitasnya. Dengan perencanaan jangka panjang seperti GDPK dan kolaborasi lintas sektor, Indonesia punya kesempatan nyata menjadikan bonus demografi sebagai motor pembangunan.
“Tapi waktu terus berjalan, jika tantangan persoalan kependudukan ini tidak segera ditangani, potensi besar ini bisa berbalik menjadi beban berat di masa depan,” pungkasnya.***











Discussion about this post