MADANIACOID – Produksi dan konsumsi pakaian terus melonjak berkat tren mode cepat atau fast fashion di mana merek-merek pakaian meluncurkan koleksi baru dengan frekuensi tinggi. Namun, fenomena ini menuai kritik karena dampaknya yang merugikan lingkungan.
Tren mode tampaknya tak pernah berhenti berkembang. Setiap musim, mode baru bermunculan, menarik minat konsumen untuk membeli pakaian terbaru. Dukungan media sosial dan internet mempercepat penyebaran tren ini, mempengaruhi masyarakat untuk mengikutinya.
Kemudahan akses melalui toko online memudahkan konsumen untuk membeli pakaian, seringkali tanpa kebutuhan mendesak.
Harga pakaian pun terjangkau, berkat kemajuan teknologi dan metode produksi yang efisien. Akibatnya, harga pakaian mengalami penurunan dibandingkan barang konsumsi lainnya. Misalnya, di Inggris, harga pakaian menurun 53 persen dari 1995 hingga 2014, sementara barang konsumsi lainnya naik 49 persen. Fenomena serupa terjadi di negara-negara seperti Amerika Serikat, Brasil, China, Jerman, India, Rusia, dan Afrika Selatan.
Kenaikan antusiasme terhadap tren mode memicu respons positif dari perusahaan pakaian jadi. Peningkatan permintaan mengakibatkan produksi yang lebih tinggi.
Buku Dana Thomas berjudul “Fashionopolis: The Price of Fast Fashion and The Future of Clothes” (2019) mencatat bahwa antara 2000 hingga 2014, produksi pakaian meningkat dua kali lipat, dengan rata-rata produksi mencapai 100 miliar pakaian per tahun.
Menurut McKinsey, setiap orang di dunia membeli sekitar 14 pakaian per tahun, dengan pengeluaran untuk mode meningkat hingga 60 persen. Cepatnya perubahan mode serta peningkatan produksi dan konsumsi pakaian berkaitan erat dengan tren fast fashion, yang didefinisikan oleh Cambridge Dictionary sebagai pakaian yang diproduksi dan dijual dengan harga sangat murah agar orang dapat membeli lebih sering.
Discussion about this post