Bandung, madania.co.id – Angka pengangguran di kalangan anak muda Jawa Barat memunculkan tanda bahaya serius.
Alih-alih menjadi pendorong kemajuan, ledakan penduduk usia produktif justru berpotensi menjadi beban sosial dan ekonomi jika tidak ditangani dengan pendekatan strategis dan radikal.
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2024 mencatat, lebih dari satu dari lima anak muda Jabar—tepatnya 23,63 persen usia 15–24 tahun—terjerat pengangguran.
Sebuah fakta yang telanjang bahwa bonus demografi di provinsi dengan 31 juta penduduk produktif ini mulai mengarah ke krisis ketenagakerjaan.
Porsi terbesar pengangguran ini datang dari lulusan SMA dan SMK. Ironisnya, SMK yang digadang-gadang sebagai lumbung tenaga siap kerja, justru menyumbang pengangguran terbanyak—mencapai 40,71 persen.
Statistisi BPS Jabar, Raifa Mukti, menyebut adanya mismatch kronis antara kurikulum sekolah kejuruan dan realitas dunia industri.
“Ini bukan hanya soal lulusan baru. Lulusan lama pun masih banyak yang menganggur,” ungkap Raifa dalam seminar Hari Kependudukan Sedunia 2025, Senin (14/7).
Kondisi makin parah di wilayah perkotaan, di mana angka pengangguran melonjak hingga 24,02 persen. Secara gender, laki-laki lebih terdampak (26,67 persen) dibanding perempuan (19,42 persen).
Dalam konteks ini, kota-kota besar seperti Bekasi, Depok, dan Bogor justru menjadi kantong pengangguran, padahal merupakan episentrum pertumbuhan ekonomi Jawa Barat.
Kepala Dinas P3AKB Jabar, Siska Gerfianti, memang menekankan pentingnya momentum bonus demografi. Namun, retorika soal “potensi besar” seakan tak menyentuh akar masalah.
“Generasi muda kita besar jumlahnya, tapi tak diberi ruang yang cukup untuk berkembang,” katanya.
Siska juga menyinggung berbagai tantangan demografis lain: kepadatan penduduk ekstrem (lebih dari 13 ribu jiwa/km di beberapa kota), angka stunting 15,9 persen, hingga ribuan dispensasi perkawinan anak yang masih terjadi meski trennya menurun.
Di tengah kompleksitas itu, Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Unpad, Ferry Hadiyanto, menyodorkan kritik lebih tajam. Menurutnya, pembangunan kependudukan selama ini terlalu berorientasi pada masyarakat umum tanpa menyentuh kebutuhan individu—terutama anak muda.
“Untuk generasi muda, ‘sejahtera’ itu terlalu jauh. Yang penting itu bahagia. Kalau negara gagal menyediakan ruang untuk bahagia, kita sedang menanam benih krisis sosial jangka panjang,” ucap Ferry yang juga Ketua Koalisi Kependudukan Indonesia Jabar.
Dia mendorong pendekatan baru dalam kebijakan kependudukan menjadi lebih inklusif, sensitif terhadap kondisi mental anak muda, dan menempatkan pembangunan keluarga sebagai fondasi utama. Paradigma pembangunan harus bergeser dari angka ke makna—dari kuantitas ke kualitas hidup.
Dengan potensi demografi sebesar ini, Jawa Barat dihadapkan pada dua jalan: jadi mesin kemajuan atau medan kehancuran sosial.
Tanpa perencanaan lintas sektor yang nyata dan pembenahan serius terhadap pendidikan kejuruan serta dunia kerja, maka tsunami pengangguran muda hanya tinggal menunggu waktu. Bonus demografi bisa berubah menjadi bom waktu.
Jika Anda ingin versi yang lebih fokus ke ekonomi, pendidikan, atau gender, saya bisa bantu pecah atau kembangkan lagi.











Discussion about this post