Oleh Karsidi Diningrat
Kata korupsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu corruption, artinya penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya, untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Menurut Robert Klitgard, korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara, karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi. Sedangkan menurut JW. Schoorl, korupsi adalah penggunaan kekuasaan negara untuk memperoleh pengasilan, keuntungan, atau prestise perorangan, atau untuk memberi keuntungan bagi sekelompok orang atau suatu kelas sosial dengan cara yang bertentangan dengan undang-undang atau dengan norma akhlak yang tinggi.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan cara batil. Dan janganlah kamu membawa perkara harta itu kepada hakim, agar kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan cara dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah, 2: 188).
Dalam firman-Nya yang lain disebutkan, “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu dapat azab yang pedih.” (QS. Asy-Sura, 42: 42). “ … Dan orang-orang yang zalim tidak ada bagi mereka seorang pelindung pun dan tidak pula seorang penolong.” (QS. Asy-Syura, 42:8).
Dan dalam firman-Nya yang lain disebutkan, “Maka, disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka memakan makanan yang baik-baik (pada masa lalu) yang dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisa, 4: 160-161).
“Celakalah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang yang bila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Tapi, bila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka menguranginya.” (QS. Al-Mutaffifin, 83:1-3). Dalam firman-Nya yang lain disebutkan, “Dan sempurnakanlah takaran bila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah orang lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al-Isra’, 17: 35).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Kezaliman (akan menjadi) kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari). Dan dalam sabda yang lain disebutkan, “Barang siapa yang merampas satu jengkal tanah, niscaya pada hari kiamat kelak, ia akan dikalungi tujuh lapis bumi.” (HR. Muslim). Rasulullah bersabda, “Di antara catatan amal perbuatan yang tidak akan Allah lewatkan sedikit pun ialah kezaliman terhadap hamba.” (HR. Ahmad).
Rasulullah Saw. bersabda, “Penundaan orang kaya merupakan kezaliman”. Dan di antara kezaliman besar ialah sumpah palsu atas hak yang menjadi tanggungannya. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mengambil hak saudara muslim dengan sumpahnya. Allah pasti menetapkan baginya api neraka.” Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, meski itu hanya sesuatu yang kecil?” Beliau bersabda, “Meski itu hanya sebatang pohon Arak.” Beliau bersabda, “Siapa yang kami percayakan sebuah pekerjaan kepadanya lalu ia menyembunyikan sebuah jarum atau sesuatu yang lebih besar darinya, berarti itu ghulul (khianat). Ia akan membawanya kelak di hari kiamat.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Sungguh, mantel yang diambilnya secara sembunyi (sebelum ghanimah dibagikan) akan menjadi nyala api yang membakarnya.” Lantas ada seorang lelaki yang berdiri dan menyerahkan seutas tali sepatu yang diambilnya dari rampasan perang sebelum dibagikan, maka Nabi bersabda, “Seutas tali sepatu dari api neraka.”
Dalam suatu riwayat disebutkan ada seorang lelaki bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, bila aku terbunuh dalam kondisi sabar, mengharapkan pahala, dan dalam keadaan menghadapi musuh, apakah hal itu dapat menghapuskan dosa-dosaku?” Beliau bersabda, “Ya, kecuali utang.”
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya banyak orang yang memperebutkan harta Allah tanpa hak, maka bagi mereka neraka Jahanam pada hari kiamat kelak.” (HR. Bukhari). Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa Nabi bersabda kepada Ka’ab bin ‘Ajurah, “Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari barang yang haram, neraka lebih layak untuknya.” (HR. Ad-Darimi dan Ahmad). Abdul Wahid bin Ziyad berkata dari Aslam Al-Kufi dari Murrah Al-Hamadzani, dari Zaid bin Arqam, dari Abu Bakar, bahwa Nabi bersabda, “Tidak akan masuk surga tubuh yang diberi makan dari harta yang haram.”
Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Dan tidak mungkin seorang Nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa berkhianat, niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatinya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi.” (QS. Ali Imran, 3: 161).
Dalam penjelasan HAMKA di Tafsir Al-Azhar-nya bahwa “di dalam ayat ini terdapat kalimat Jaghulla dan jaghulul, yang dalam bahasa Indonesia artinya adalah curang. Maka orang yang bersikap curang main ghalul itu dipandang sebagai orang yang berkhianat. Sedangkan dalam kamus Arab tersebut arti ghalla—yaghullu—ghallan, yaitu seseorang mengambil barang sesuatu lalu memasukkan dengan sembunyi kedalam kumpulan barang-barangnya yang lain. Kemudian dipakailah kalimat ini untuk orang yang mendapat harta rampasan perang (ghanimah), lalu sebelum barang itu dibagi dengan adil oleh Kepala Perang, telah lebih dahulu disembunyikannya kedalam penaruhannya. Sehingga barang itu tidak masuk dalam pembahagiaan. Maka samalah keadaan itu dengan mencuri. Karena menurut peraturan perang, harta rampasan itu dikumpulkan menjadi satu terlebih dahulu sehabis perang. Baik besar maupun kecil. Lalu oleh Kepala Perang barang itu dibagikan menurut adilnya.”
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwasanya kaum Bani Israil suatu ketika berperang dibawah pimpinan Nabi Musa as. Ada antara mereka yang menyembunyikan rampasan itu ke dalam ikat pinggangnya, karena takut kelak tidak kepadanya dibagikan. Seketika Nabi Musa menanyakan nama-nama barang-barang itu banyaklah yang menyembunyikan. Lalu Nabi Musa berseru memanggil segala barang yang dicuri atau dicurangi itu. Maka berloncatan barang-barang tersebut dari ikat pinggang si curang itu.
HAMKA lebih lanjut menerangkan, “kita misalkan dengan perbuatan korupsi yang masih merajalela dalam suatu negara. Sejak dari para pejabat tinggi sampai para pejabat rendah telah ditulari oleh kecurangan korupsi. Sehingga yang berkuasa hidup mewah dan mengumpul kekayaan negara untuk diri sendiri, sedangkan rakyat banyak yang kelaparan, telah kurus kering badannya. Mereka telah diperas dengan berbagai ragam pajak, tetapi mereka tidak merasakan ni’kmat hidup sedikit juga. Pegawai-pegawai kecil yang gajihnya hanya cukup untuk makan empat hari dalam sebulan dipaksa oleh keadaan itu berbuat korupsi pula. Mereka terlambat datang ke kantor sebab lapar, lalu mencatut di luar. Dan mereka terlambat pulang, sebab masuk kepasar terlebih dahulu mencari yang akan dimakan, sedang di dalam kantor mereka tidak bekerja sepenuhnya. Mereka pun telah meng-korupsi waktu sebagai akibat yang pasti dari korupsi orang atasan, negeri pun bertambah lama bertambah hancur. Maka di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini terdapatlah kepastian, bahwasanya kelak segala korupsi itu akan dihitung dan dinilai kembali pada hari kiamat.”
Dalam suatu riwayat di masa pemerintahan Umar bin Khaththab sahabat Rasul yang terkenal, Abu Hurairah telah diangkat jadi pemungut zakat. Setelah berhasil beliau memungut zakat itu, beliapun kembali ke Madinah dan menyerahkannya kepada Khalifah untuk dimasukan ke dalam Baitul-Maal. Setorannya baik, tanggungjawabnya selesai, tidak ada yang mencurigakan. Tetapi ditangannya ada satu barang yang tidak diserahkannya. Khalifah bertanya: “Anna laka hadza?”. (Ini dari mana engkau dapat?).
Lalu Abu Hurairah menjawab, bahwa barang itu adalah hadiah salah seorang pembayar zakat untuk dirinya sendiri. Dengan tegas Khalifah memerintahkan supaya barang itupun diserahkannya. Karena kalau bukan dia diutus untuk memungut zakat, tidaklah ada suatu sebab baginya menerima hadiah itu!
Kemudian dari masa ke masa, kalimat “Anna laka hadza, dari mana kau dapat ini” telah jadi kata bersayap dalam pemerintahan Islam, untuk mengadakan pemeriksaan kekayaan pejabat-pejabat negara.
Dalam masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdil Aziz yang dimasukkan oleh ahli-ahli sejarah Islam dalam golongan Khalifatur-Rasyidin telah terjadi pula, bahwa pengawas Baitul-Maal menghadiahkan sebuah kalung emas untuk putri Khalifah. Karena merasa, bahwa hal itu tidak lebih dari patut, sebab Khalifah terlalu keras menjaga, sehingga tidak ada pungutan kekayaan untuk diri beliau sendiri, atau untuk anak-anaknya. Setelah putrinya kelihatan memakai kalung itu, kontan Khalifah bertanya lagi: “Anna laka hadza?” Dari mana kau dapat ini? Atau bagaimana jalannya sampai kau dapat memakainya? Putri menjawab, bahwa itu adalah hadiah yang pantas diterima. Dengan kontan pula barang itu segera beliau suruh tanggalkan, sebab barang itu adalah kepunyaan kaum Muslimin (kepunyaan Negara). Dan diancamnya putrinya itu dengan membaca ayat ini, bahwasanya orang yang berbuat curang akan datang dengan barang yang dicuranginya itu pada hari kiamat.
“Takutlah kau wahai anakku yang tercinta, bahwa engkau kelak akan datang kehadapan Mahkamah Tuhan dengan barang yang kau curangi ini dan akan diselidiki dengan seksama.” Langsunglah barang itu dikembalikan kedalam Baitul-Maal.
Lanjut HAMKA, ‘melihat dan menilik pelaksanaan Umar bin Khaththab dan Umar bin Abdil Aziz ini, nyatalah bahwa komisi yang diterima oleh seorang menteri, karena menanda tangani suatu kontrak dengan satu penguasa luar negeri dalam pembelian barang-barang keperluan menurut rasa halus iman dan Islam adalah korupsi juga namanya. Kita katakan menurut rasa halus iman dan Islam, ialah guna jadi pedoman bagi pejabat-pejabat tinggi suatu negara, bahwa lebih baik bersih dari kecurigaan rakyat. Mungkin dalam ilmu fiqih ada yang menghalalkan itu, namun rasa halus agama lebih dalam dari semata-mata fiqih. Dengan semata-mata fiqih kita dapat mencari seorang “Ulama” untuk menjadi pokrol. Tetapi rasa iman yang mendalam dalam jiwa kita sendiri akan selalu mengetuk memberi ingat kesalahan itu.”
Baik menurut al-Maraagi, al-Qurtubi, mengatakan bahwa orang yang mengambil harta orang lain, yang tidak atas cara yang dibenarkan oleh syar’i, maka ia telah memakannya dengan cara yang batil. Termasuk dalam katagori memakan yang batil adalah hakim memutuskan perkara sedangkan dia mengetahui bahwa yang dilakukannya itu batil, yaitu sebagai suap, memakan riba. Sedangkan menurut Imam Adz-Dzahabi termasuk dalam katagori ini ialah orang-orang yang menarik pungutan liar, perampok, pencuri, pengkhianat, dan penipu. Adapun orang yang meminjam sesuatu lalu mengingkarinya, orang yang mengurangi timbangan dan takaran, orang yang menemukan barang temuan dan tidak mengumumkannya, penjual yang menyembunyikan cacat dalam barang dagangannya, tukang judi, dan yang membujuk pembeli dengan kecurangan juga termasuk di dalamnya. Dan menurut Imam Baihaki yang termasuk kategori ini adalah mencuri, merampok, makan harta yang bukan haknya menurut islam.”
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Ketauhilah bahwa zalim berarti kekurangan.” Kekurangan dapat terjadi dengan nekatnya seseorang mengambil harta yang bukan haknya. Bisa juga dengan menyia-nyiakan hak yang menjadi kewajiban. Segala macam kezaliman itu diharamkan. Orang yang berbuat zalim tidak akan mendapatkan penolong di hadapan Allah, sebagaimana Allah berfirman, “… orang-orang yang zalim tidak mempunyai seorang teman setia pun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafaat yang diterima syafaatnya.”
Artinya, di hari kiamat orang zalim tidak akan memiliki teman yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah. Ia juga tidak mendapat orang yang dapat memberinya syafaat. Sebab, ia telah dijauhkan karena kezaliman dan perbuatannya yang melampaui batas. Karenanya, orang yang zalim hendaknya tidak terpedaya dengan dirinya. Tidak juga dengan penundaan azab dari Allah terhadapnya, karena sejatinya hal tersebut adalah musibah yang bertumpuk.
Jika seseorang segera diazab akibat kezalimannya, kemungkinan ia akan tersadar, mengambil pelajaran, dan meninggalkan kezalimannya. Lain halnya jika azabnya ditunda. Ia akan semakin banyak berdosa, kezalimannya semakin menjadi-jadi, dan hukuman untuknya pun semakin bertambah berat. Lalu turunlah azab dengan tiba-tiba, dan ia tidak akan terbebas darinya. Na’udzubillah. Wallahu a’lam bish-shawwab.
Discussion about this post