Bandung, madania.co.id – Di balik rak-rak toko perhiasan dan lapak-lapak pasar tradisional, laju harga kembali bergerak naik. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat mencatat, inflasi tahunan (year-on-year) di wilayah ini mencapai 1,78 persen per Juni 2025.
Penyumbang terbesarnya datang dari sektor yang kontras: emas perhiasan dan cabai rawit.
“Emas perhiasan menyumbang andil inflasi sebesar 0,52 persen secara tahunan, sementara cabai rawit mencatat 0,05 persen secara bulanan,” ujar Darwis Sitorus, Pelaksana Tugas Kepala BPS Jawa Barat dalam rilis resmi yang disampaikan Selasa (1/7).
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana fluktuasi harga di sektor non-pangan dan pangan bisa berdampak serentak pada perekonomian warga. Kenaikan harga emas mencerminkan tekanan dari sisi barang mewah dan investasi rumah tangga, sementara lonjakan harga cabai menandai ketidakstabilan pasokan kebutuhan pokok di tingkat pasar.
Inflasi bulanan atau month-to-month tercatat 0,27 persen, dengan beberapa komoditas lainnya turut menyumbang tekanan seperti beras, LPG, telur ayam, tomat, dan daging ayam ras. Sebaliknya, sejumlah harga mengalami penurunan, seperti bawang putih dan bensin, meski tidak cukup signifikan untuk meredam inflasi secara keseluruhan.
Namun bukan hanya sisi konsumsi yang mengalami pergerakan. Dari sisi produksi, para petani di Jawa Barat justru menikmati angin segar. Nilai Tukar Petani (NTP) pada Juni 2025 tercatat naik 1,85 persen menjadi 113,94 dibandingkan bulan sebelumnya.
Begitu pula Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) yang mengalami kenaikan 2,06 persen, menunjukkan sektor pertanian masih menjadi penopang utama ekonomi perdesaan di tengah tekanan inflasi.
“Kenaikan ini didorong oleh naiknya harga gabah, tomat, dan cabai rawit di tingkat petani, meski di saat yang sama harga beras dan jengkol juga meningkat dari sisi pengeluaran,” tambah Darwis.
Namun kondisi tak seragam tampak di sektor pariwisata. Kunjungan wisatawan mancanegara melalui Bandara Kertajati turun tajam sebesar 23,05 persen dibanding April 2025. Wisatawan domestik pun mencatat penurunan sebesar 21,42 persen secara bulanan, berdasarkan data Mobile Positioning yang merekam pergerakan sinyal seluler lintas kota dan kabupaten.
Penurunan ini berdampak langsung pada Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel. Angka okupansi hotel gabungan pada Mei 2025 turun menjadi 37,59 persen. Bahkan dibandingkan tahun sebelumnya, penurunan mencapai 4,86 poin. Meski hotel-hotel berbintang di Kota Bandung, Sukabumi, dan Purwakarta masih mencatat okupansi tertinggi, secara umum geliat sektor akomodasi masih tertahan.
Di sisi lain, ekspor kembali menjadi tulang punggung ekonomi Jawa Barat. Mei 2025, nilai ekspor menembus 3,33 miliar dolar AS—naik 20,54 persen dibanding bulan sebelumnya. Mesin-mesin, kendaraan, dan peralatan elektrik mendominasi pengapalan ke luar negeri, dengan Amerika Serikat, Filipina, dan Jepang sebagai pasar utama.
Sementara impor justru menurun sebesar 0,82 persen, memperkuat surplus neraca perdagangan hingga 10,39 miliar dolar AS. “Meski kita surplus dengan AS, Filipina, dan Thailand, kita masih defisit dengan Tiongkok dan Taiwan,” kata Darwis.
Pergerakan data ini menunjukkan dinamika ekonomi Jawa Barat yang terus bergeser. Dari harga cabai di pasar hingga kilau emas di etalase toko, dari geliat petani di sawah hingga para tamu hotel di kawasan wisata semuanya menjadi penanda bahwa ekonomi daerah adalah mozaik dari banyak narasi kecil yang saling berkelindan.***











Discussion about this post