Oleh Karsidi Diningrat
Shalat ialah ibadat yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir bagi Allah Subhanahu wa ta’ala dan disudahi dengan memberi salam. Shalat dalam agama Islam menempati kedudukan yang tak dapat ditandingi oleh ibadat manapun juga. Ia merupakan tiang agama di mana ia tak dapat tegak kecuali dengan itu.
Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al-Ma’un, 107: 4-5). Juga dalam firman-Nya yang lain dinyatakan, “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam saqar (neraka)?” Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS. Al-Muddatstsir, 74: 42-43.).
Ketahuilah, bahwa meninggalkan shalat fardhu merupakan dosa yang paling besar, kemungkaran yang paling buruk dan sangat diharamkan. Terdapat banyak hadits shahih dari Rasulullah Saw. yang menghukumkan kafir terhadap orang yang meninggalkannya. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja maka dia telah kafir terang-terangan.” (H.R. Ahmad). Dan dalam hadits yang lain disebutkan, “Janji setia antara kita dengan mereka ialah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka kafirlah ia.” Juga dalam hadits yang lain disebutkan, “Barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja, maka terangkatlah perlindungan Allah dan Rasul-Nya.”
Dan dalam riwayat yang lain Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa memelihara shalat, maka ia akan diberi cahaya, bukti dan keselamatan di hari kiamat. Barangsiapa mengabaikannya, maka ia tidak akan diberi cahaya, bukti dan keselamatan. Bahkan di hari kiamat ia akan ditempatkan bersama-sama Fir’aun, Qarun, Haman dan Ubay bin Khalaf.”
Kenyataan tentang hukum kafirnya orang yang meninggalkan shalat telah diutarakan sendiri oleh Rasulullah saw. Begitu pula telah disampaikan kepada kita oleh para sahabat dan Salaf saleh., sehingga sebagian mereka berkata, “Kami tidak pernah mendengar para sahabat Rasulullah saw mengatakan tentang sesuatu amal, bahwa meninggalkannya menjadi kafir kecuali shalat saja.” Oleh karena itu, berhati-hatilah kita untuk tidak meninggalkan shalat atau sebagian daripadanya. Jika kita meninggalkanya pula, maka kita akan binasa bersama-sama orang yang binasa. Kelak kita akan merugi serugi-ruginya di dunia dan di akhirat, dan itulah kerugian yang nyata.
Umar bin Khaththab berkata, “Ketauhilah, bahwa orang yang menyia-nyiakan shalat tidak memiliki bagian sedikit pun dalam Islam.” Ayyub As-Sakhtiyani juga senada dengan perkataan Umar.
Al-Jaziri meriwayatkan dari Abdullah bin Syaqiq, dari Abu Hurairah. Ia berkata, “Dahulu para sahabat Rasulullah tidak menilai satu amal pun yang apabila ditinggalkan berakibat kepada kekafiran selain shalat.” Sedangkan Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah kejahatan daripada meninggalkan shalat hingga habis waktunya, dan membunuh seorang muslim tanpa alasan yang benar.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Yang pertama-tama dipertanyakan (diperhitungkan) terhadap seorang hamba pada hari kiamat dari amal perbuatannya adalah tentang shalatnya. Apabila shalatnya baik maka dia berutung dan sukses dan apabila shalatnya buruk maka dia kecewa dan merugi.” (HR. An-Nasa’I dan Tirmidzi).
Dalam hadits yang lain disebutkan, “Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mau bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, serta membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan itu, berarti mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hukum Islam, sedang hisab mereka terserah kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa “orang yang mengakhirkan shalat hingga waktunya habis termasuk pelaku dosa besar. Sedangkan orang yang tidak mengerjakannya—satu shalat—hukumnya seperti orang yang mencuri dan berzina. Karena, meninggalkan setiap shalat atau menyia-nyiakannya termasuk dosa besar. Jika ia melakukannya berulang-ulang, ia termasuk pelaku dosa besar kecuali jika ia bertobat. Sementara jika ia terus meninggalkan shalat, maka ia termasuk orang yang merugi dan celaka.”
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, ‘bahwa ini termasuk permasalahan ilmu yang besar. Para ulama—baik salaf maupun khalaf—sudah lama memperdebatkannya. Imam Ahmad berkata, “Orang yang meninggalkan shalat berarti ia telah kafir—keluar dari Islam—dan harus dibunuh jika tetap tidak mau bertobat dan mengerjakan shalat.”
Adapun Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat, Ia dihukum fasiq dan tidak kafir.” Kemudian ketiganya berbeda pendapat mengenai hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat, “Ia mesti dibunuh—sebagai hukuman hudud–, tidak murtad.” Sedangkan Abu Hanifah berkata, “Ia hanya dita’zir (hukuman yang sesuai) dan tidak dibunuh,”
Karena hal ini merupakan permasalahan yang diperselisihkan, maka wajib bagi kita mengembalikannya pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dalam hal ini Allah telah berfirman, “Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (QS. Asy-Syuuraa, 42: 10). Dan dalam firman-Nya yang lain disebutkan, “… Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa, 4: 59).
Pendapat masing-masing pihak yang berselisih pendapat tidak dapat dijadikan hujjah atas pendapat yang lain. Sebab, masing-masing merasa dirinya yang paling benar. Padahal salah satunya tidak lebih baik dari pendapat yang lain. Oleh karena itu, masalah ini wajib dikembalikan kepada hakim di antara keduanya, yaitu kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.
Bila kita kembalikan masalah ini pada Al-Kitab dan As-Sunnah, kita akan dapati keduanya menyatakan bahwa kafirnya orang yang meninggalkan shalat adalah kekafiran yang mengeluarkannya dari Islam.
Sayid Sabiq mengatakan, “Meninggalkan shalat secara menyangkal dan menantang adalah kafir dan keluar dari agama Islam dengan ijma’ kaum Muslimin. Adapun orang yang meninggalkannya sedang ia masih beriman dan meyakini keharusannya, hanya ditinggalkannya karena lalai atau alpa, bukan karena sesuatu halangan yang diakui oleh syara’, maka hadits-hadits telah menegaskan bahwa ia kafir dan wajib dibunuh.”
Sebagaimana Rasulullah saw bersabda, “Janji yang terikat erat antara kami dengan mereka ialah shalat.” Maka barangsiapa yang meninggalkannya, berarti ia telah kafir.” (HR. Ahmad dan Ash-habus Sunan). Dan hadits yang lain disebutkan, “Batas di antara seseorang dengan kekafiran itu ialah meninggalkan shalat.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi dan Ibnu Majah).
Dalam hadits yang lain dinyatakan, bahwa “Pangkal urusan ialah Islam, tiangnya adalah shalat, sedangkan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” (HR. At-Tarmidzi). Dan dalam hadits lain disebutkan, “Batas antara seseorang dengan syirik dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim).
Dalam Fiqih Sunnah disebutkan, “Berkata Ibnu Hazm, “Diterima keterangan dari ‘Umar, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah dan sahabat-sahabat lainnya bahwa orang yang meninggalkan satu shalat fardhu dengan sengaja sampai waktunya habis, maka ia kafir lagi murtad.”
Dalam hal ini Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka mereka itu adalah saudara-saudaramu seagama.” (QS. At-Taubah, 9: 11). Dan dalam firman-Nya yang lain dinyatakan, “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya. Mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertaubat, beriman, dan beramal shaleh. Mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikit pun.” (QS. Maryam, 19: 59). Wallahu ‘al-lam bish-shawwab.***
- Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
- Wakil Ketua 1 Majelis Pendidikan Pengurus Besar Al-Washliyah.
Discussion about this post