Oleh Karsidi Diningrat
Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Katakanlah (Muhammad), Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali-Imran, 3:26).
Dari Abdurrahman bin Samurah berkata, “Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan, karena jika engkau diberi karena meminta engkau akan ditelantarkan. Tetapi jika engkau diberi tanpa permintaan darimu engkau akan dibantu dalam melaksanakannya. Apabila engkau telah bersumpah atas sesuatu, kemudian engkau melihat perkara lain lebih baik darinya, maka lakukanlah yang lebih baik dan bayarlah kaffarat sumpahmu.” (HR. Muttafaqun ‘alaih).
Dalam hadits yang senada Rasulullah Saw. berkata kepada Abdurrahman bin Samurah, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu maka kamu akan ditolong mengatasinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan, bahwa “kepemimpinan dan jabatan yang lainnya tidak pantas diminta atau menawarkan diri untuk mendapatkannya. Bahkan dia harus berdoa memohon keselamatan kepada Allah, karena dia tidak mengetahui apakah jabatan tersebut baik bagi dirinya atau bahkan buruk bagi dirinya? Dia juga tidak tahu apakah dia sanggup melaksanakannya ataukah tidak?
Jika dia memintanya dan berambisi mendapatkannya dia akan ditelantarkan, dan ketika hamba diterlantarkan dia tidak mendapatkan taufik, kemudahan, dalam perkaranya, dan tidak pula mendapatkan pertolongan dalam melaksanakannya, karena permintaannya dibangun di atas dua larangan: pertama, Kerakusan pada dunia dan kepemimpinan, sementara kerakusan hanya mengakibatkan kecemasan dalam mengeruk kekayaan Allah dan sombong terhadap hamba-hamba Allah. Kedua, Padanya terdapat sikap bersandar pada diri sendiri dan memutuskan diri dari bersandar dan memohon kepada Allah. Oleh karenanya Rasulullah bersabda, “Engkau akan diterlantarkan.”
Sedangkan orang yang tidak berambisi mendapatkannya dan tidak pula menginginkannya, tetapi dia memperolehnya tidak karena meminta-minta, dan dia melihat dirinya tidak mampu melaksanakannya, maka Allah akan menolongnya dan tidak melantarkannya, karena dia tidak menginginkan bala’, barang siapa yang mendapatkan bala’ bukan karena pilihannya dia akan diringankan dan mendapat taufik untuk melaksanakan tugasnya. Dalam kondisi ini dia harus menguatkan tawakalnya kepada Allah Ta’ala. Bila seorang hamba melaksanakan sebuah sebab dengan bertawakal kepada Allah niscaya dia akan berhasil.
Cinta Pangkat
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Abul ‘Aliyah r.a. duduk lalu ada empat orang atau lebih ikut duduk bersamanya maka ia beranjak bangkit meninggalkan tempat duduk itu. Sedangkan Khalid bin Ma’dan, bila majelisnya semakin banyak maka ia segera beranjak dari tempat duduk karena takut menjadi tenar. Az-Zuhri bertutur, “Kami tidak melihat zuhud dalam sesuatu yang lebih minim daripada kekuasaan (pangkat). Kami melihat seseorang zuhud dalam makanan, minuman, dan harta. Namun tatkala kami membagi-bagi pangkat maka ia mau menerimanya.” Karena itulah ada yang berkata, “Terakhir kali yang mengeluarkan dari kafilah orang-orang jujur adalah cinta pangkat (kedudukan).
Bila ada yang berkata, “Itu semua adalah keutamaan tidak terkenal dan tidak mencari ketenaran. Lantas, ketenaran mana yang melebihi ketenaran para nabi dan pemimpin ulama?” Maka kami jawab, “Yang tercela adalah jika manusia mencari ketenaran. Adapun ketenaran yang datang dari anugerah Allah tanpa harus susah payah mencarinya, itu tidaklah tercela. Akan tetapi, ketenaran itu merupakan cobaan bagi orang-orang yang lemah hatinya. Pasalnya, orang yang lemah hatinya ibarat orang yang tenggelam dan tidak ahli berenang. Bila seseorang bergantung padanya maka ia akan mati tenggelam. Adapun orang yang pandai berenang, jika ada orang yang bergantung padanya maka ia akan menjadi sebab keselamatannya.
Keluasan pangkat tanpa didasari ambisi yang besar dalam mencarinya dan tanpa disertai kesedihan saat kehilangannya maka tidak ada mudarat di dalamnya. Karena, tidak ada yang lebih luas daripada pangkat Rasulullah Saw. dan para ulama sesudahnya. Hanya saja, kecenderungan mereka dalam mencari pangkat adalah aib dalam hal agama dan tidak ada isyarat pengharaman.”
Lebih lanjut Syaikh mengatakan bahwa kalimat “Engkau akan dibantu dalam melaksanakannya” adalah menjadi dalil bahwa kepemimpinan atau jabatan yang lain menghimpun dua perkara: agama dan dunia. Karena maksud semua jabatan adalah untuk memperbaiki kemashlahatan agama manusia dan dunia mereka. Oleh karenanya ia terkait dengan perintah dan larangan, keharusan melaksanakan kewajiban, pencegahan dari perkara haram, dan keharusan melaksanakaan hak. Demikian pula perkara-perkara politik dan jihad, ia hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang ikhlas kepada Allah dalam mengembannya dan melihat pelaksanaan kewajibannya sebagai ibadah yang utama. Kalau bukan mereka niscaya bahaya besar akan terjadi.
Di dalam masalah ini, tujuan manusia berbeda-beda. Namun, mayoritas manusia tidak ingin dilihat khalayak dengan pandangan rendah dan kurang. Rasulullah Saw. telah bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat dzarrah (atom).” Kemudian seseorang berkata, “Sesungguhnya ada seseorang yang senang jika pakaian dan alas kakinya bagus, bagaimana ini?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah Mahaindah dan Mencintai Keindahan. Yang dimaksud dengan kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim).
Gila Hormat
Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menginginkan agar orang-orang berdiri menghormatinya, maka hendaknya ia bersiap-siap untuk menyambut tempatnya di neraka.” (HR. Ahmad melalui Muawiyah). Orang yang gila hormat dan takabur diancam oleh hadis ini, bahwa kelak di hari kemudian ia akan menempati tempat tinggal yang telah disediakan untuknya di neraka.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takutkan di antara apa yang aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa syirik kecil itu?” Beliau menjawab, “Riya’. Allah berfirman kepada mereka pada hari kiamat kelak, saat Dia memberi balasan amal-amal manusia, ‘Pergilah kepada orang-orang yang kalian berbuat riya’ di dunia. Apakah kalian mendapatkan kebaikan di sisi mereka?” (HR. Ahmad dan Baihaqi).
Ibnu Qudamah berkata, yang disarikan oleh Muhammad Shalih Al-Ghurasi, ketahuilah bahwa pokok riya’ adalah cinta pada kedudukan dan pangkat. Jika dirinci maka ia kembali pada tiga pokok. Pertama, senang terhadap pujian. Kedua, menjauhkan diri dari sakitnya celaan. Ketiga, tamak terhadap milik orang lain. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa salah satu ciri orang yang riya adalah selalu ingin mendapat pujian dalam segala urusan … ” (HR. Ibnu Babawih).
Dalam hal ini berdasarkan hadits Abu Musa. Ia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah kemudian bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu perihal orang yang berperang dengan gagah berani, berperang dengan fanatisme, dan berperang dengan riya’? Mana di antara mereka yang berada di jalan Allah?’ Beliau menjawab, ‘Barang siapa berperang untuk meninggikan kalimat Allah maka dia berada di jalan Allah’.” (HR. Bukhari).
Arti berperang dengan gagah berani adalah agar namanya disebut-sebut dan dipuji. Arti berperang dengan fanatisme adalah ia tidak mau bila dikalahkan atau dihina. Sedangkan, arti berperang dengan riya’ adalah supaya kedudukannya diketahui orang lain. Ini adalah kenikmatan pangkat dan kedudukan di dalam hati manusia. Dalam hal ini Rasulullah memperingatkan bahwa, “menyukai sanjungan dan pujian membuat orang buta dan tuli.” (HR. Adailami).
Berambisi pada Kedudukan
Janganlah ingin menjadi orang terkenal karena sesungguhnya pujian orang itu kadang-kadang menggelincirkan, terlebih lagi jika orang yang bersangkutan terkenal keburukannya, maka ketenarannya itu akan memperburuk keadaannya. Dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabda, “Berdosalah seseorang bila ia menjadi subyek dari telunjuk orang banyak; apabila dia seorang yang baik, maka hal tersebut dapat menggelincirkannya, kecuali orang yang dirahmati Allah. Dan apabila dia seorang yang buruk maka bertambahlah keburukannya.” (HR. Baihaqi).
Dalam hal ini Rasululah Saw. memperingatkan, “Kami tidak mengangkat orang yang berambisi berkedudukan.” (HR. Muslim). “Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya azab pada hari kiamat.” (HR. Athabrani).
Tidak disangsikan lagi bahwa tabiat manusia senang mendapat pujian. Kebanyakan manusia mempunyai watak demikian, namun tentunya dengan tingkatan yang berbeda. Yang terbaik bagi manusia adalah mendidik dirinya untuk tetap melakukan pekerjaan walaupun tidak mendapat pujian. Jika mendapat pujian maka itu kebaikan dan keberkahan, dan cahaya di atas cahaya.
Barang siapa terlampau menumpukan perhatian kepada pangkat dan kedudukan, mengharapkan kemuliaan dan ketinggian (pangkat) di hati orang banyak, maka telah terbuka baginya pintu bencana dan bahaya, seperti halnya riya’, takabur dan menonjolkan diri. Ketika itu, ia senantiasa tinggi hati terhadap kebenaran dan ahlinya, tidak suka merasakan kekecilan dan kehinaan dirinya, dan beberapa sikap yang mendatangkan bahaya dan bencana.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Tiada seorang hamba pun di dunia ini menghendaki agar kedudukannya diangkat satu derajat, kecuali Allah Swt. akan merendahkannya kelak di akhirat dalam kadar yang lebih rendah dan lebih hina daripada yang sekarang.” (HR. Thabrani).
Hadits ini memperingatkan kepada kita agar kita ber-zuhud terhadap kekuasaan dan kedudukan karena sesungguhnya kekuasaan dan kedudukan itu hanya diberikan kepada orang-orang yang tidak menghendakinya. Barangsiapa yang menghendaki kedudukan atau kekuasaan atau pangkat yang lebih tinggi dari apa yang diperolehnya sekarang, maka kelak di hari kemudian Allah akan merendahkannya serendah-rendahnya. Dalam hadits lain disebutkan bahwa, “Sesungguhnya Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang patuh berbakti, yang suka menyembunyikan kemasyhurannya dan bersih suci-hati-ikhlas.”
Menumpuk Harta dan Fokus pada Jabatan
Seseorang dikatakan tercela dalam mencintai harta dan kedudukan berikut penumpuan semua perhatian terhadapnya, manakala kecenderungannya kepadanya telah melampaui batas kewajaran. Maka jelaslah, bahwa orang yang hanya menumpukan perhatian kepada harta dan jabatan sebenarnya telah meletakkan dirinya dalam bahaya yang besar dan bencana yang berat. Kecuali, Allah memelihara dan melepaskannya dari bahaya itu dengan rahmat-Nya.
Oleh karena itu, kita jangan salah dan keliru dalam memilih pemimpin, pilihlah pemimpin yang terlihat memiliki adil dan jujur, bijaksana dalam menghadapi masalah, berpandangan luas serta tidak fanatik golongan, berjiwa integrasi, wibawa dan disegani oleh semua golongan, lebih mementingkan rakyat daripada kepentingan golongan. Mampu menumbuhkan sikap tasamuh (toleransi), mampu menumbuhkan kerjasama dan solidaritas sesama komponen masyarakat, mampu menghilangkan kultus wadah dan diganti dengan fastabiqul khairat, bersikap terbuka, mampu menciptakan tenaga pengganti dan berjiwa demokratis. Kuat dalam aqidah, memiliki penglihatan sosial yang tajam, tabah dan tahan menerima kritik, pema’af dan memiliki jiwa toleransi, tidak memiliki sikap Fir’aunisme, Akuisme dan vested interest, memiliki reputasi yang menyeluruh.
Allah subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpinmu, mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” (QS. Al-Maidah, 5:51).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Orang mukmin tidak akan terpatuk (binatang berbisa) dua kali pada lubang yang sama.” (HR. Muttafaqun ‘alaih melalui Abu Hurairah). Hadis ini adalah perumpamaan yang dibuat Nabi Saw. dalam rangka menjelaskan kesempurnaan seorang mukmin dalam menjaga diri. Dalam hadis ini terdapat anjuran untuk bersikap cerdas, teliti dan waspada juga kuat dalam menghadapi segala persoalan, dan diantara tanda-tandanya adalah berusaha mengetahui perbuatan yang bermanfaat untuk kita kerjakan, dan berusaha mengetahui sebab-sebab yang berbahaya, mudarat untuk menghindarinya. Wallahu a’lam bish-shawwab.
Discussion about this post