Oleh Drs. H. Karsidi Diningrat, M.Ag
ADALAH menjadi kewajiban setiap Mu’min untuk memelihara dan menjauhkan diri dari perbuatan meminta-minta, dan meminta kepada orang lain adalah perbuatan yang sangat tercela, kecuali dalam keadaan darurat, atau ada keperluan mendadak yang tidak bisa dielakkan lagi.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Nabi Daud a.s., telah berkata, “Engkau masukkan tanganmu ke mulut seekor naga hingga batas siku lalu naga itu mengunyahnya; hal ini lebih baik bagi engkau dari pada engkau meminta-minta kepada seseorang yang tidak punya apa-apa, kemudian sesuatu itu diada-adakannya.” (HR. Ibnu Asakir melalui Abu Hurairah r.a.).
Hadits ini menceritakan bahwa meminta-minta merupakan perbuatan tercela, terlebih lagi jika meminta kepada orang yang tidak punya, lalu karena tidak enak maka orang yang tidak punya itu terpaksa memberikan apa yang dimintanya.
Dan dalam hadits lain Beliau Saw. bersabda, “Barang siapa berjanji kepadaku tidak akan meminta sesuatu pun kepada orang lain, niscaya aku menjaminnya untuk mendapatkan surga.” (HR. Abu Daud melalui Tsauban).
Hadits tersebut mengandung peringatan terhadap perbuatan meminta-minta karena sesungguhnya orang yang meminta-minta itu di pandang hina dan rendah. Apabila keadaan seseorang miskin, lalu ia bersabar dan tidak meminta-minta kepada orang lain serta berupaya agar keadaan dirinya tidak kelihatan, maka ia dijamin oleh Nabi Saw, mudah masuk surga.
Dalam hadits lain disebutkan bahwa, “Tahanlah dirimu dari meminta-minta orang, walau dengan pura-pura mengosok gigi (habis makan).”
Rasulullah saw. bersabda, “Carilah kebutuhan-kebutuhan kalian dengan jiwa yang mulia, karena sesungguhnya semua perkara itu berjalan sesuai dengan takdir.” (HR. Ibnu Asakir melalui Abdullah ibnu Bisr). Hadits ini menganjurkan agar kita tetap bersikap mulia bilamana mempunyai keperluan terhadap seseorang, janganlah kita meminta kepadanya dengan mengemis-ngemis karena segala sesuatu itu berjalan sesuai dengan ketentuan takdir.
Menjaga Kehormatan
Dalam hadits lain disebutkan bahwa seandainya manusia semuanya bersepakat untuk membuat suatu manfaat kepada dirimu, niscaya mereka tidak akan dapat memberikan manfaat apa pun kepada dirimu kecuali apa yang telah dipastikan bagimu. Dan seandainya mereka bersepakat untuk menimpakan suatu mudarat kepada dirimu, niscaya mereka tidak akan dapat menimpakan suatu mudarat pun terhadap dirimu kecuali apa yang telah dipastikan bagimu.
Nabi Muhammad saw bersabda, “Seandainya kalian mengetahui kehinaan yang terdapat dalam hal meminta, niscaya tiada seorang pun berjalan menuju ke orang lain untuk meminta suatu kepadanya.” (HR. Nasai dari Aidz ibnu Amr).
Seandainya kita mengetahui kehinaan yang akan dialami oleh seorang peminta-minta kelak di hari kiamat, niscaya kamu tidak akan mau meminta-minta. Dalam riwayat lain disebutkan “bahwa orang yang suka meminta-minta itu kelak akan dibangkitkan dalam keadaan wajahnya tidak berdaging sedikit pun”.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Kebaikan apa pun yang ada di sisi-Ku, Aku tidak akan menyimpannya dari kalian. Barang siapa memelihara kehormatannya tidak (meminta-minta) niscaya Allah akan memelihara kehormatannya; dan barang siapa merasa berkecukupan, niscaya Allah akan mencukupinya, dan barang siapa membuat dirinya sabar, niscaya Allah akan membuatnya sabar. Tiada suatu pemberian pun yang diberikan kepada seseorang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim melalui Abu Sa’id al-Khudri r.a.). Dalam hadits lain disebutkan bahwa, “Permintaan orang yang berkecukupan itu api. Jika diberi sedikit, maka sedikit apinya, dan jika diberi banyak, maka banyaklah apinya.”
Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang pengertian cukup, yakni berapa kadar yang tidak membolehkannya meminta-minta. Beliau menjawab, “Kadar makan siang dan malamnya saja.”
Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Sesungguhnya Ruhul Qudus (malaikat Jibril) membisikan dalam benakku bahwa jiwa tidak akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya. Karena itu hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah dan memperbaiki mata pencaharianmu. Apabila datangnya rezeki itu terlambat, janganlah kamu memburunya dengan jalan bermaksiat kepada Allah karena apa yang ada di sisi Allah hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya.” (HR. Abu Dzar dan Al-Hakim).
Dalam riwayat lain disebutkan, “Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada yang tidak bisa dihapus (ditebus) dengan pahala shalat, sedekah atau haji namun hanya dapat ditebus dengan kesusah-payahan dalam mencari nafkah”. Dalam riwayat yang lainnya, Rasul Saw. bersabda, “Allah memberi rezeki kepada hamba-Nya sesuai dengan kegiatan dan kemauan kerasnya serta ambisinya.”
Sebagaimana kita diperintahkan untuk mencari rezeki, maka hendaklah kita hanya mencari rezeki yang halal semata-mata. Jika niat kita baik, niscaya kita akan peroleh kelebihan dan pahala yang banyak juga barakah.
Rasulullah Saw. bersabda, “Sebaik-baik mata pencaharian adalah usaha seseorang dengan tangannya sendiri, apabila ia ikhlas.” (HR. Abu Hurairah r.a.). Idzaa nashaha, apabila usahanya itu halal dan ditekuninya dengan penuh kesabaran. Usaha yang paling baik ialah yang dihasilkan oleh seseorang melalui hasil perasan keringatnya sendiri. Dalam hadits lain disebutkan bahwa, “Tiada suatu makanan pun yang dimakan oleh seseorang lebih baik daripada makanan hasil tanganya (kerjanya) sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Daud a.s. adalah orang yang makan dari hasil kerjanya sendiri.” (HR. Bukhari melalui al-Miqdam).
Juga dalam hadits yang lain disebutkan bahwa, “Seorang yang membawa tambang, lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya maka itu lebih baik dari seorang yang meminta-minta kepada orang-orang yang terkadang diberi dan kadang ditolak. (HR. Mutafaq ‘alaih).
Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan trampil. Barangsiapa bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Aza wajalla.” (HR. Ahmad).
Dalam hadits lain disebutkan, “Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah.” Dan dalam riwayat lain disebutkan, “Sebaik-baik mata pencaharian ialah hasil ketrampilan tangan seorang buruh apabila dia jujur.” Dan dalam riwayat yang lainnya disebutkan, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala senang melihat hamba-Nya bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yang halal.”
Dengan demikian, sebaiknya seseorang itu mencari rezeki dengan niat untuk memelihara agamanya, untuk mencukupi kebutuhan dirinya agar tidak meminta-minta kepada orang lain dan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Kemudian, jika ada kelebihan, sedekahkanlah kepada orang-orang yang membutuhkan dari hamba-hamba Allah. Dengan niat seperti itu, berarti ia telah beramal untuk kepentingan akhiratnya pula.
Namun demikian, kita wajib ingat dan diperhatikan dengan baik ialah, jangan hendaknya mencari rezeki itu menyebabkan kita mengabaikan perintah Allah Swt., atau terjebak ke dalam larangan-larangan Allah Swt. Apabila demikian, maka kita akan merugi di dunia dan akhirat, dan itulah kerugian yang amat nyata.
Tiga Kategori Manusia
Dalam pandangan Dr. Habib Abdullah Haddad, bahwa para salaf telah membagi manusia dalam tiga kategori:
a. Orang yang senantiasa sibuk dengan amal-amal akhirat, sehingga tidak ada waktu lagi untuk mengurus amal-amal dunia. Orang ini masuk ke dalam kategori orang-orang yang berjaya.
b. Orang yang senantiasa sibuk dengan kedua amal dunia dan akhirat. Orang ini masuk ke dalam kategori orang-orang yang berekonomi.
c. Orang yang senantiasa sibuk dengan urusan dunia, sehingga tidak memperdulikan urusan akhiratnya. Orang ini masuk ke dalam golongan orang-orang menganiaya diri ataupun membinasakan diri.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup untuk selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.” (HR. Ibnu Asakir).
Dalam hadits senada disebutkan, “Barangsiapa mencintai dunianya, niscaya akhiratnya diterlantarkan, dan barangsiapa mencintai akhiratnya niscaya dunianya diterlantarkan; oleh karena itu dahulukanlah yang abadi daripada hal yang fana.” (HR. Hakim melalui Abu Musa r.a.).
Makna hadits di atas merupakan tamsil yang menggambarkan kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrawi, yakni bagaimana seseorang menjalani kedua kehidupan tersebut. Pengertian tamsil ini tersirat melalui lafaz Ka-annaka yang menurut ilmu Balaghah dinamakan sebagai sarana Tasybih (sarana untuk menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya).
Mengingat hal yang diserupakan merupakan suatu hal yang mustahil, karena tiada seorang manusia pun yang hidup untuk selama-lamanya, maka dipakailah Ka-annaka yang artinya: seakan-akan kamu benar-benar akan hidup selama-lamanya. Allah Swt. telah berfirman, “Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati, dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian.” (QS. Ali-Imran, 3:185).
Demikian pula masalah mati besok, hal ini merupakan suatu yang mustahil, karena sesungguhnya tiada seorang pun yang mengetahui di mana dan kapan kita akan mati. Masalah mati hanya diketahui oleh Allah. Allah Swt. telah berfirman, “Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana manusia akan mati.” (QS. Luqman, 31: 34).
Berdasarkan uraian di atas maka makna lahiriah hadits ini menjadi seperti berikut: Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau masih punya banyak waktu untuk mendapatkannya; dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau tidak punya waktu lagi untuk menangguhkannya.
Ungkapan tersebut dimaksudkan untuk mengingatkan manusia yang sering melalaikan tujuan hidupnya karena kesibukannya dalam mengumpulkan harta duniawi dan bermegah-megahan, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya, “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui (akibat perbuatan kalian ini).” (QS. At-Takaatsur, 102: 1-3).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, tangan yang di atas adalah orang yang memberi, sedangkan tangan yang di bawah adalah orang yang meminta.” (HR. Ibnu Umar r.a.).
Orang yang dermawan jauh lebih utama daripada orang yang kerjanya hanya meminta-minta saja. Pada garis besarnya hadits ini mengandung anjuran untuk bersikap dermawan, dan sekaligus mengandung peringatan untuk tidak meminta-minta karena sesunggunnya orang yang meminta-minta itu hina, tercela dan keji. Wallahu A’lam bish-shawwab .
Discussion about this post