PADANG, madania.co.id — Di tengah gegap gempita Festival Telong-Telong yang mewarnai langit malam Padang, sebuah siluet hitam legam mencuri perhatian. Replika Lokomotif Mak Itam milik KAI Divre II Sumatera Barat menjadi bintang di antara lautan lentera. Diarak di tengah pawai budaya yang digelar dalam rangka Hari Ulang Tahun ke-356 Kota Padang, Mak Itam bukan sekadar kendaraan, melainkan simbol warisan, memori kolektif, dan identitas sejarah yang masih mengalir di rel kota ini.
Di kota yang baru saja menjamu jejaring kota kreatif se-Indonesia dalam Rakornas Indonesia Creative Cities Network (ICCN), KAI datang bukan sekadar membawa angkutan. Ia hadir sebagai bagian dari denyut kebudayaan.
“Kereta api bukan hanya alat transportasi, tapi juga wajah kota, saksi sejarah, dan bagian dari identitas kolektif masyarakat,” ujar Reza Shahab, Kepala Humas KAI Divre II Sumbar.
Replika Mak Itam yang dibangun oleh tim internal KAI bersama komunitas kreatif lokal ini tampil memukau. Balutan hitam khas lokomotif uap era kolonial, disertai kilau lampu kuning keemasan yang menyala saat malam, menjadikannya lebih dari sekadar atraksi visual. Ia menjadi perwujudan ingatan atas kejayaan tambang Ombilin di Sawahlunto — warisan dunia UNESCO yang dulunya dijelajahi Mak Itam dari jantung pertambangan menuju pelabuhan.
Pawai budaya Telong-Telong kali ini tak sekadar perayaan kota. Ia menjadi panggung kebudayaan, tempat di mana sejarah, kreativitas, dan kebanggaan bertemu dalam satu barisan. Dan di antara lentera-lentera itu, Mak Itam berdiri sebagai narasi masa lalu yang tetap relevan dalam konteks kekinian.
KAI Divre II menyulap nostalgia menjadi pengalaman budaya. Kehadirannya bukan semata-mata estetika—melainkan bentuk nyata keterlibatan korporasi dalam membangun nilai-nilai kota.
“Semoga kehadiran kami selalu membawa kontribusi, tak hanya untuk mobilitas masyarakat, tapi juga dalam merawat kebanggaan kota,” kata Reza.
Sementara kereta modern seperti Minangkabau Ekspres terus melaju di rel kemajuan, Mak Itam tetap hidup—menyala di ingatan, membunyikan peluit budaya yang tak lekang oleh waktu.
Discussion about this post