PERLU diakui bahwa kita hidup di era informasi yang melimpah seiring berkembangnya teknologi. Bahkan, kita sering melihat berbagai macam informasi di hampir setiap kesempatan kita mengakses internet. Di era internet saat ini, setiap individu atau kelompok yang memiliki akun media sosial sangat mungkin menyuguhkan informasi apa pun. Ironisnya, fakta-fakta objektif seringkali tidak lagi menjadi dasar opini di era digital dengan segala fenomena tersebut karena ada kecenderungan lain, salah satunya karena viralitas semata. Fenomena ini menyebabkan pemahaman yang bias tentang kebenaran, terutama dalam hal menangkap informasi yang sebenarnya. Dalam hal mengonsumsi dan menyikapi informasi, fenomena ini menjadi ancaman bagi masyarakat modern. Era ini dikenal sebagai “post-truth” atau “pasca-kebenaran”, di mana setiap orang memiliki pandangan pribadi tentang kebenaran, dan pilihan politik dan pragmatis seringkali memengaruhi persepsi mereka.
Berkaitan dengan atau menunjukkan keadaan di mana fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding daya tarik emosional dan kepercayaan pribadi” adalah definisi kata “post-truth” dalam kamus Oxford. Karena penggunaan luasnya selama referendum Inggris untuk keluar dari Uni Eropa dan pemilihan presiden AS, istilah post-truth dinobatkan oleh Oxford sebagai Word of the Year pada 2016. Karena kecenderungan masyarakat untuk mengabaikan fakta objektif, kebenaran tidak lagi diperdebatkan dan diterima secara umum di era Post-truth.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pertumbuhan dunia digital telah memengaruhi segala aspek kehidupan manusia. Digitalisasi telah mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan manusia. Seperti yang ditunjukkan oleh bukti, hampir 80 persen orang di seluruh dunia menggunakan ponsel Android untuk berinteraksi dengan media sosial. Kemudian, seiring perkembangan zaman dan teknologi, dimulai dari sebelum adanya media sosial seperti sekarang, masyarakat memperoleh informasi melalui media massa. Namun, di masa kini, kita dapat mengembangkan inovasi yang dapat memberikan beragam informasi melalui ponsel pintar, yang menghasilkan masyarakat yang aktif dalam aktifitas media sosial yang dikenal sebagai netizen.
Sayangnya, tidak semua penguna internet mampu memahami dan mengolah informasi dengan baik, meskipun ada banyak pengguna internet dan banyak informasi yang dapat diakses. Menurut dai Kompas.com, berdasarkan laporan Digital Civility Index (DCI), netizen Indonesia memiliki tingkat kesopanan pengguna internet terburuk se-Asia Tenggara. Menurut penelitian yang dibuat oleh Microsoft ini, tingkat kesopanan netizen Indonesia turun delapan poin ke angka 76, dengan poin yang lebih tinggi menunjukkan tingkat kesopanan yang lebih rendah. Survei ini, yang sudah memasuki tahun kelima, melibatkan sekitar 16.000 orang di 32 wilayah dan dilakukan dari bulan April hingga Mei 2020. Survei tersebut membahas interaksi online responden dan pengalaman mereka dengan risiko online. Tiga faktor memengaruhi kemungkinan kesopanan netizen di Indonesia, menurut laporan Kompas.com sebelumnya. Pengamat Mengatakan Ada Tiga Faktor Penyebab Tertinggi. Hoaks dan penipuan meningkat 13 poin menjadi 47%; ujaran kebencian meningkat 5 poin menjadi 27%; dan diskriminasi turun 2 poin dari tahun sebelumnya. Saat media sosial menjadi lebih populer di masyarakat, rumor akan menyebar. Hal tersebut dengan cermat dirancang untuk membuat pembaca dan pendengarnya meyakini opini tersebut dan mengikutinya.
Salah satu penyebab hoax menyebar di Indonesia adalah pengguna yang anonim, kurangnya literasi digital masyarakat, dan emosi yang mudah dan kurangnya kepekaan berpikir. Oleh karena itu, penting untuk memahami etika pengguna sebelum berinteraksi supaya dapat menciptakan lingkungan digital yang sehat dan produktif. Menurut Kominfo (2018), sepuluh persen masyarakat Indonesia menggunakan media sosial untuk memproduksi informasi dan sembilan puluh persen untuk mendistribusikan. Sepertinya arus informasi di media sosial menjadi lebih negatif karena hal ini. Selain itu, Gen Z, yang mudah terpengaruh dan termakan berita palsu, mendominasi penggunaan media sosial.
Menurut penulis, masyarakat modern cenderung terbiasa mengonsumsi banyak informasi dalam waktu yang relatif singkat, yang merupakan faktor lain yang menyebabkan sebagian masyarakat menjadi enggan untuk mengkonfirmasi kebenaran sebuah informasi. Hal ini menyebabkan tingkat literasi semakin menurun, terutama ketika orang mencoba memverifikasi kebenaran informasi yang diberikan di media melalui sumber lain. Penulis mengira alasan lain mengapa masyarakat saat ini lebih suka mengonsumsi informasi melalui media sosial daripada media konvensional seperti radio dan koran adalah karena informasi dan berita di media sosial lebih menarik secara visual dan inovatif. Salah satu contoh platform media sosial yang menggambarkan fenomena tersebut adalah Tiktok, Reels Instagram, dan You Tube Short. Konten dari platform ini biasanya berdurasi antara lima belas detik hingga sepuluh menit, tetapi ada juga beberapa yang lebih lama.
Tidak semua konten media sosial bersifat negatif; para pembuat konten dan akun media sosial terus menjadi sumber informasi yang bermanfaat dengan dukungan dari sumber yang terpercaya. Akan tetapi, jika kita tidak mampu mengendalikan pemilihan informasi juga, terutama ketika digunakan dalam waktu yang singkat, dampak yang bisa terjadi di antaranya, karena durasi yang singkat maka kontennya disajikan secara terpotong-potong maka dibutuhkan pemahaman yang lebih dalam. Kemudian dengan durasi yang terbilang singkat, maka sangat mudah untuk menyederhanakan ide-ide kompleks. Dan yang terakhir yang paling terburuk, dampaknya dapata memungkinan seseorang salah memahami atau misinterpretasi informasi. Hilangnya kebenaran di era teknologi saat ini bukan karena disembunyikan, tetapi karena banyaknya ketidakbenaran yang ada di sekitar kita. Untuk memunculkan kebenaran yang tertutup ketidakbenaran itu, kita harus menghidupkan kembali kecenderungan siswa untuk mengenali berbagai macam karya sastra.
Sementara itu, karya sastra atau fiksi dapat berfungsi sebagai sarana untuk memberikan tanggapan terhadap keadaan saat ini. Siswa harus kembali ke buku karena para penulis menggunakan metodologi dalam menulis buku. Dengan demikian, sastra harus dipahami karena sangat penting bagi kehidupan sehari-hari kita. Mempelajari sastra berdampak besar pada berbagai aspek kehidupan manusia, dan mempelajarinya memiliki banyak manfaat. Membaca karya sastra tidak hanya memperkaya kosa kata kita, tetapi juga membantu kita menggunakan bahasa dengan benar. Selain itu, membaca sastra juga dapat membantu kita menulis, berbicara, dan berkomunikasi dengan lebih baik. Sastra tidak hanya membantu kita memahami prinsip dan sejarah suatu masyarakat, tetapi juga membantu kita memperluas pandangan dan pemahaman kita tentang dunia.
Mengembangkan rasa empati, karena sastra memberikan gambaran tentang emosi, konflik, dan bahkan cara kita berpikir. Selain itu sastra juga mampu menjadi sarana penguatan nilai moral dan etika. Didalam Sastra juga banyak mengandung pesan moral dan etika yang berfungsi sebagai pedoman untuk nilai-nilai yang baik. Membaca sastra membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang teks dan analisis kritisnya. Membaca sastra juga membantu dalam memahami, menilai, dan membuat keputusan logis. Sastra memberikan pelatihan dan bekal untuk mempersiapkan diri dalam arus informasi yang begitu deras. Selain itu, sastra memberi kita cara untuk memahami makna secara menyeluruh, terutama dalam hal mengolah informasi yang kita terima.*** (Penulis adalah: Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
Discussion about this post