Madania.co.id, Bandung – Kertas daluang dipercaya sudah digunakan sejak abad ke-9 di nusantara sebagai media untuk menulis naskah dan mengirim pesan. Terbukti dengan adanya naskah kuno yang berasal dari kertas daluang, yaitu naskah Kakawin Ramayana.
Pada masa tersebut, daluang sering dijumpai untuk menulis naskah kitab suci Alquran. Tak hanya itu, daluang digunakan untuk membuat naskah wayang beber sampai sekarang. Keberadaan daluang juga tak jarang menjadi bahan utama untuk membuat busana yang biasanya dilakukan oleh masyarakat di daerah Sulawesi.
Ahmad Mufid Sururi menceritakan sepak terjangnya sebagai seorang perajin daluang. Di Studio Toekang Saeh yang terletak di Komplek Koperasi Bina Mandiri No. 3 Ujungberung, Kota Bandung, dia tetap membuat berbagai karya seni untuk mempertahankan eksistensi kertas daluang sampai sekarang.
Pria kelahiran Bandung, 1974 tersebut mengaku telah menjadi seorang perajin kertas daluang sejak 2006. Saat ditemui, pria yang akrab disapa Mufid ini nampak sangat antusias saat menceritakan perjalannya dalam mempertahankan eksistensi kertas daluang di tengah gempuran kemajuan zaman.
“Baru tau di 2006, pelaku asli (perajin daluang) sudah tidak ada, akhirnya eksplorasi sendiri,” ujar Mufid saat ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu.
Dia menuturkan, keberadaan kertas daluang yang jarang diketahui ini berkaitan dengan minimnya minat masyarakat untuk mengenal atau bahkan mempertahankan kertas daluang. Menurutnya, hal tersebut menjadi permasalahan yang kompleks.
Mulai dari ketersediaan bahan baku, hingga tak adanya rasa keingintahuan untuk menelisik lebih jauh tentang pengolahan pohon saeh menjadi selembar kertas daluang.
Oleh karena itu, selama menjadi perajin, Mufid tidak sekedar memproduksi kertas daluang saja di studionya. Dia mengatakan, eksplorasi, edukasi, serta kolaborasi menjadi poin inti untuk mempertahankan eksistensi kertas daluang yang dipercaya memiliki daya tahan hingga 100 tahun. (sr)
Discussion about this post