Madania.co.id, Bandung – Tahu dan tempe hilang di pasaran, mulai hari ini para pedagang makanan berbahan dasar kedelai itu, menggelar aksi mogok jualan mulai hingga dua hari ke depan.
Pedagang tahu-tempe di Pasar Soreang, Kabupaten Bandung,Tuti Haryati (60) menjelaskan, dia tidak berjualan karena produksinya juga berhenti.
“Saya berhenti membuat tempe, karena stock kedelai di rumah sudah engga ada. Tahu di pabriknya juga berhenti tidak produksi,” ujarnya di Soreang, Senin (21/2) pagi.
Tuti menjelaskan, harga kedelai setiap hari naik, bahkan saat terakhir diabelinya, Kamis (18/2) ada di kisaran harga Rp 13.000/ kg.
Menurut dia, harga kedelai setiap hari naik antara Rp 50-Rp 100.
Dengan harga kedelai yang tinggi, is mengaku sulit menjual tempe dengan harga dan ukuran yang sama dengan harga kedelai sebelum naik.
“Biasanya saya menjual tempe super Rp 250 per potong, itu harga kedelai Rp 9.000 per kg. Sekarang saya engga tahu harus jual tempe berapa, karena ukurannya.sudah diperkecil,” ujarnya.
Ia juga mengaku, sulit menjual jika harga kedelai tidak turun.
Saat ini, menurut dia, tahu yang harganya Rp 500 sudah dinaikkan jadi Rp 750 dengan ukuran diperkecil.
“Ya banyak sih konsumen yang protes, karena ukuran jadi kecil dan harga naik. Tapi bagaimana lagi, jika harga dan ukuran tahu tetap, saya engga dapat untung, malah mungkin harus nombok,” ungkapnya.
Hal itu dibenarkan Ketua Koperasi Produsen Tahu dan Tempe Indonesia (Kopti) Kabupaten Bandung, Ghufron Cokro Valentino.
Menurut dia, gejolak harga kedelai sudah tidak tertahankan.
Kenaikan harga kedelai saat ini sudah 30 persen, terakumulasi sejak November 2021.
Mulanya, harga kedelai itu sekitar Rp 9 ribu, tapi kini sudah lebih dari Rp 11 ribu.
“Sebenarnya mogoknya itu bukan karena kita frontal atau gerakan sporadis, perlu digaris bawahi bahwa mogok ini adalah untuk memberi tahukan kepada masyarakat posisi kita saat ini terjepit dan dalam keadaan gelisah, karena harga kedelai tidak terkendali,” ujar Ghufron kepada wartawan saat dihubungi via telepon, akhir pekan ini.
“Mogok angkan dilakuka sejak 21, 22, 23 Pebruari di Jawa Barat dan Jabodetabek,” katanya.
Menurut dia, aksi mogok produksi tersebut, untuk memberitahukan kepada pemerintah pentingnya menangani dan mengintervensi harga kedelai supaya stabil.
Kata Ghufron, pemerintah harus lebih serius mengawal tata niaga kedelai, bukan menyerahkannya ke mekanisme pasar.
“Tuntutan kami sejak tahun 2008, stabilkan harga kedelai melalui pemerintah bukan dikasihkan ke mekanisme pasar,” ujarnya.
“Selama kedelai ini masih diserahkan ke mekanisme pasar, maka tidak akan pernah berhenti kondisi seperti ini. Jadi seperti siklus yang sering terjadi dan berkepanjangan,” ujarnya.
Jadi, lanjut dia, berapapun harganya tapi jika stabil maka tidak akan jadi masalah bagi produsen tahu tempe.
“Misalnya kita usaha hari ini, ketika kita jual itu hasilnya untuk membeli kedelai kadang-kadang minus, bahkan hanya bisa cukup kembali modal saja, jadi tidak dikunci harganya,” katanya.
Berdasarkan informasi dari Dirjen Kemendag, kata Ghufron, stock kedelai saat ini hanya untuk dua bulan dan harganya naik.
Alasannya, karena harga minyak dunia, panen di Amerika kurang begitu surplus, selain itu juga ada trouble pada pengemasan di Amerika.
Jadi, lanjutnya lagi, ada masalah teknis yang merugikan importir sehingga lambat datang ke Indonesia.
“Ketika harga ini tidak diatur oleh pasar dan digelontorkan sebagaimana mestinya, ini kemungkinan akan rawan, dua bulan kemudian itu ada kekosongan beberapa hari, kuotanya itu sudah dibaca,” ungkap Ghufron.
Soal program swasembada kedelai, menurut Ghufron, itu nonsense. Selalu digembar-gemborkan swasembada kedelai, tapi ketika panen raya ternyata nol alias tidak ada barang.
“Kita tidak berbicara antara swasembada atau impor ya, karena kita sebagai pengrajin, terlepas dari impor ataupun swasembada kita hanya membutuhkan ketersediaan kedelai yang menjamin kebutuhan,” katanya.***
Discussion about this post