“Jangan memperdebatkan Pancasila, karena sudah final!”
“Mempertanyakannya adalah bentuk pemberontakan dan intoleransi yang bisa memecah belah bangsa!”
Pernyataan-pernyataan seperti ini terdengar patriotik, bahkan heroik. Namun, jika dikaji secara jernih, sesungguhnya ini adalah bentuk pembungkaman nalar kritis dan pembenaran terhadap otoritarianisme ideologis. Ia menutup ruang dialog dan refleksi, bahkan terhadap suatu produk pemikiran manusia yang lahir dari kompromi historis dan belum pernah benar-benar dituntaskan.
Padahal dalam Islam, sebagai sistem hidup yang berdasar wahyu ilahi, Allah sendiri menantang manusia untuk berpikir, meragukan, menggugat, bahkan berdialog argumentatif. Wahyu bukan dogma mati, tetapi cahaya yang hidup dalam diskursus akal dan batin manusia. Maka, memfinalisasi sebuah isme buatan manusia dan melarang rakyat mempertanyakannya adalah tindakan ahistoris dan bentuk kejumudan berpikir.
Pancasila, dalam kenyataan kontemporer, kian menjauh dari ruh dan cita-cita awalnya. Ia kehilangan arah karena dikooptasi oleh isme-isme lain: kapitalisme global, liberalisme pasar, demokrasi prosedural, hingga sekularisme yang menyusup melalui label moderasi beragama dan jargon HAM yang tak netral nilai. Pancasila menjadi kotak kosong yang diisi oleh siapa saja yang sedang berkuasa. Ia tidak lagi menjadi pandu kebangsaan yang mengikat elite dan rakyat secara bermartabat dan adil.
Lebih jauh lagi, sejarah membuktikan bahwa Pancasila bukanlah bangunan ideologis yang telah selesai. Soekarno sendiri menyatakan bahwa Pancasila adalah philosophische grondslag yang mesti dikaji dan dirumuskan lebih lanjut setelah masa transisi. Namun, harapan itu terkubur oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante saat Islam hampir menjadi fondasi negara melalui mekanisme demokrasi. Itulah momen historis ketika jalan dialog konstitusional digantikan oleh pendekatan koersif. Sebuah tindakan yang tak bisa dilepaskan dari rasa takut pada bangkitnya ideologi Islam sebagai solusi kenegaraan.
Hari ini, fakta tak bisa dibantah: praktik bernegara carut-marut. Korupsi sistemik, manipulasi politik, oligarki ekonomi, dan demokrasi transaksional menjadi wajah sehari-hari pemerintahan. Semua ini terjadi dalam bingkai konstitusi yang konon berlandaskan Pancasila.
Maka, pertanyaannya: apakah kita akan terus memelihara ilusi ideologis dan menolak mencari akar persoalan secara jujur?
Saatnya menyadari, bahwa hanya sistem yang lahir dari wahyu dan dibangun atas dasar kebenaran yang konsisten, yang dapat menjawab krisis multidimensi ini. Islam, sebagai sistem nilai yang komprehensif dan solutif, telah terbukti dalam sejarah sebagai fondasi peradaban yang adil, bermartabat, dan memuliakan manusia.
Mencari Jalan Solusi: Dari Kritik Menuju Aksi
1. Membuka Ruang Telaah Kritis
Pancasila harus dikaji ulang secara terbuka, bukan dimonopoli tafsir oleh rezim atau kelompok tertentu. Kritik adalah bentuk rasa memiliki atas bangsa ini, bukan makar.
2. Menolak Sekularisasi Berpikir
Islam bukan ancaman bagi kebangsaan, melainkan jalan keselamatan untuk umat manusia. Menyandingkan Islam dan Pancasila harus dalam semangat objektif dan epistemologis, bukan dominasi kuasa.
3. Mendorong Alternatif Sistemik
Kita butuh sistem alternatif, bukan tambal sulam. Islam sebagai sistem pemerintahan, sosial, dan ekonomi menawarkan perangkat yang lengkap dan bersumber pada nilai ilahiah.
4. Merumuskan Ideologi Islam Secara Terbuka
Bukan hanya sebagai wacana emosional, tetapi sebagai tawaran rasional dan praktis bagi tata kelola negara. Ini membutuhkan kaderisasi, penguatan argumen, serta penyusunan cetak biru sistem Islam dalam ranah kenegaraan modern.
Penutup
Mempertanyakan Pancasila bukan berarti mengkhianati bangsa. Justru sebaliknya, itulah bentuk tanggung jawab intelektual dan moral. Jika kita menginginkan masa depan yang bersih dari manipulasi dan ketidakadilan, maka kita harus berani jujur: bangsa ini membutuhkan sistem yang kokoh, bersumber dari kebenaran wahyu, dan mengakar dalam nilai-nilai ketuhanan dan keadilan sejati.
Islam bukan tandingan Pancasila. Islam adalah solusi atas kekosongan ideologis yang ditinggalkan oleh mereka yang menjadikan Pancasila alat kuasa, bukan cahaya bangsa.*** (Penulis adalah Sejarawan publik/Siswa SPM Sekolah Politik Masyumi/Anggota MPUII)


“Jangan memperdebatkan Pancasila, karena sudah final!”








Discussion about this post