
Madania.co.id, Rohingya- Badan Pengungsi PBB (UNHCR) pada Senin (22/02) menyerukan upaya darurat dalam menemukan kapal yang hilang, yang membawa pengungsi Rohingya, yang telah terapung di Laut Andaman selama lebih dari seminggu.
Jumlah orang di dalam kapal tidak diketahui pasti, begitu juga dengan lokasi kapal saat ini, yang mana kontak terakhir dengan kapal tersebut yaitu saat panggilan darurat yang diterima pada Sabtu malam, waktu setempat.
Dilansir Arab News (22/02/21), hal ini menunjukkan bahwa stok makanan dan air habis beberapa hari yang lalu dan banyak orang yang sakit parah, dan dikhawatirkan sejumlah orang telah meninggal.
Indrika Ratwatte, direktur Biro UNHCR untuk Asia dan Pasifik, mengatakan dia telah memberi tahu otoritas maritim setempat bahwa kapal itu mungkin berada di perairan mereka dan meminta bantuan segera untuk menyelamatkan nyawa pengungsi Rohingya.
“Banyak (dari penumpang) berada dalam kondisi yang sangat rentan dan tampaknya menderita atas dehidrasi ekstrim,” tambahnya. “Kami memahami (bahwa) kematian telah meningkat selama 24 jam terakhir.”
Laut Andaman merupakan bagian dari timur laut Samudera Hindia yang dibatasi oleh garis pantai Myanmar dan Thailand, dan itu terletak di sebelah tenggara Teluk Benggala dan timur Kepulauan Andaman dan Nicobar India.
Ratwatte mengimbau negara-negara di kawasan itu untuk segera mengerahkan kapal pencari dan penyelamat serta memprioritaskan upaya penyelamatan nyawa para pengungsi.
“Sejalan dengan kewajiban internasional berdasarkan hukum laut, dan tradisi maritim yang sudah berlangsung lama, kewajiban untuk menyelamatkan orang-orang yang tertekan di laut harus ditegakkan, tanpa memandang kebangsaan atau status hukum,” katanya.
Ia juga menegaskan kembali kesiapan UNHCR untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan pendampingan dengan prosedur karantina.
Rentan Menyeberangi Lautan Asia Tenggara
Menurut UNHCR, pengungsi yang berusaha menyeberangi lautan Asia Tenggara tiga kali lebih mungkin meninggal daripada mereka yang berada di Mediterania yang sebagian besar disebabkan oleh penganiayaan oleh penyelundup dan risiko penyakit di atas kapal.
“Fakta bahwa pengungsi dan migran terus melakukan perjalanan yang fatal menegaskan perlunya tanggapan regional segera dan kolektif untuk pencarian, penyelamatan, dan pendaratan,” kata Ratwatte.
Etnis minoritas Rohingya telah mengalami pelecehan selama puluhan tahun di Myanmar, dimulai pada tahun 1970-an ketika ratusan ribu orang mengungsi di negara tetangga Bangladesh.
Sekitar 250 ribu orang lainnya melarikan diri setelah pemberontakan di Myanmar 1989 dan tindakan keras militer yang diakibatkannya.
Ribuan dari mereka kembali ke Negara Bagian Rakhine pada tahun 1992 ketika Bangladesh dan Myanmar menyetujui kesepakatan repatriasi.
Eksodus Rohingya terbaru ke Bangladesh dimulai pada Agustus 2017 menyusul serangan sistematis oleh militer Myanmar, yang menurut pejabat senior PBB merupakan pembersihan etnis. (dzk)









Discussion about this post