MADANIA.CO.ID, Bandung – Pemerhati lingkungan Kabupaten Bandung, Kang Burton, menilai pembentukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Perlidungan Mata Air, sebagai bukti mata air tidak terlindungi.
“Apalagi kata dewan akan membentuk tim, artinya ini kondisi sudah kritis.Tapi saya harapkan tim ini betul-betul selektif yang betul-betul bisa dipercaya,” kata Kang Burton, dalam Public Hearing soal Rancangan Peraturan Daerah (Reperda) Perlindubgan Mata Air, yang digelar Panita Khusus (Pansus) VI DPRD Kabupaten Bandung, di Soreang, Senin (26/9).
“Janga hanya dibikin Perda, dibuat tim tapi pekerjaannya ‘ngayayay ka dituna teh’ bisa menguasai mata air,” ujarnya.
Dia juga berharap, ke depan perda jangan sampai tidak ada perubahan, karena perda bukan untuk hari ini, melainkan untuk jangka panjang, untuk anak cucu.
“Semoga ini jadi sumber inspiratif utuk melestarikan lingkungan,” katanya.
Pansus VI DPRD Kabupaten Bandung menggelar Public Hearing soal Reperda) inisiatif dewan tentang Perlindungan Mata Air.
Reparda tersebut menurut keterangan Pansus VI sudah melalui kajian akademisi Unwim yang dinyatakan luar biasa.
Public Hearing yang dibuka Sekretaris Pansus VI, Aep Dedi, dari Fraksi Gerindra, dihadiri tokoh penggiat lingkungan, perwakilan Unwim, pihak Perumda Air Minum Tirta Raharja, perwakilan PUTR, DLH, dan sejumlah tokoh lainnya.
“Dalam proses pembuatan Perda ini harus ada keselarasan melalui pembahasan-pembahasan termasuk masukan agar bisa sempurna,” kata Sekretaris Pansus VI Aep Dedi dalam paparan pembukaannya.
Sementara menurut Ketua Pansus VI, H. Dasep Kurnia Gunarudin, yang berinisitif membentuk Raperda ini, menyampaikan, selama ini banyak Perda yang sudah dibuat tapi belum dilaksanakan dengan berbagai alasan.
Karena itu, ia berharap, Raperda itu bisa diimplementasikan sesuai peruntukkannya.
Anggota kegislatif Fraksi PKS ini menilai, keberadaan mata air saat ini banyak dimanfaatkan pihak swasta untuk dikomersilkan.
Hal tersebut, menurut di juga, melanggar aturan, karena mata air adalah milik negara yang dilarang digunakan pihak swasta.
“Bercermin dari hal itu, Pansus VI berkeinginan menerbitkan Raperda Perlindungan Mata Air.”
Sebab, ia sebut, tujuannya jelas, melestarikan dan memberikan perlindungan keberadaan mata air.
Salah seorang tokoh masyarakat yang mengaku dari Yayasan Peduli Citarum, Didin, juga berharap, dalam pembentukan Tim Perda Perlindungan Mata Air ini tidak hanya dari pemerintah saja, tapi ada public society.
“Kita apresiasi pada dewan yang telah berinisiasi untuk membentuk Raperda ini, tapi ada catatan dalam tim perumusannya tidak dijustifikasi dan bukan oleh salah satu aktivis.
Didin berharap pula, setelah Raperda ini ditetapkan jadi Perda agar betul-bitul diimplementasikan.
“Legitimasinya harus kuat walaunpun tidak ada anggaran tapi bisa kuat,” ujarnya.
Ia meminta dalam kajiannya nanti bisa menyerap aspirasi berbagai elemen masyarakat.
“Termasuk anu ngageugeuh (menguasai) leuweung-leuweung misalkan tokoh Cikondang kita harus konsultasikan pada beliau. Tokoh penunggu Kamojang, Gunung Tilu, dan lainnya harus diserap agar Perda ini handal dan fungsional, ada manfaat, barokah dan kalau ada konplik atau silang sengkata masalah mata air harus ada privasisasi,” ujarnya.
Tokoh lainnya, Dadang dari persatuan Dadang Dadang Kabupaten Bandung, menyatakan, dalam pembentukan Perda harus bercermin perda-perda sebelumnya yang dibentuk tapi tidak bermanfaat.
“Saya hanya ingin bercermin kegagalan atas Perda tentang sawah abadi. Jangan sampai terjadi seperti di KBU, di Cimenyan ada enam sampai tujuh mata air saat ini sudah diserbu pihak lain, padahal kawasan mata air itu ada di Perhutani dan PTPN VIII,” ucapnya.
Dadang yang mengaku bergàbung dalam Krup Kawasan Selamatkan kawasan Lngkungan Kabupaten Bandung, tak ingin produk perda yang memerlukan waktu panjang dan biaya besar ini tidak bermanfaat.
“Sebelumnya sawah abadi di Kabupaten Bandung ini mencapai 30 ribu hektar saat ini tinggal sekira 16 ribu hektar, mudah-mudahan dengan perda ini bisa mempertahankan sawah abadi,” katanya.(m)
Discussion about this post