Bandung, BandungOke.com – Narasi keluarga berencana berbasis kontrasepsi tampaknya akan segera ditinggalkan.
Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN, Wihaji, menegaskan bahwa fase pengendalian kelahiran lewat kontrasepsi telah usai. Tantangan baru menanti: mengelola jumlah penduduk secara cerdas, terukur, dan berkelanjutan.
“Kita sudah masuk ke era baru. TFR kita sudah 2,1, artinya penduduk tumbuh seimbang. Maka pendekatan kontrasepsi sudah selesai,” ujar Wihaji dalam Musyawarah Kerja Nasional IPeKB di Bandung, Selasa (29/7/2025).
Paradigma Baru: Dari Kontrasepsi ke Kerangka Sistemik
Wihaji menyebut bahwa isu kependudukan kini tak cukup hanya dikaitkan dengan angka kelahiran, melainkan harus masuk ke ranah pembangunan sistemik. Ia menawarkan paradigma baru melalui kerangka besar (grand design) pembangunan kependudukan yang berbasis data dan proyeksi kebutuhan populasi.
“Bayangkan Jawa Barat dengan 55 juta jiwa. Kita harus tahu berapa rumah sakit yang dibutuhkan, berapa sekolah SD, SMP, SMA, universitas. Bahkan harus tahu jurusan apa yang relevan dan jenis pekerjaan apa yang dibutuhkan masyarakat ke depan,” jelasnya.
Pola pikir semacam itu, menurut Wihaji, adalah jalan menuju pembangunan yang efektif: dari hulu ke hilir, dari calon pengantin hingga lansia.
Frame dan Work: Dua Pilar Baru Kemendukbangga
Bagi mantan Bupati Batang ini, kerja Kemendukbangga berdiri di atas dua pilar: frame dan work. Frame adalah desain besar pembangunan kependudukan. Sedangkan work adalah pekerjaan teknis membangun keluarga dari fondasi.
Fondasi itu, menurutnya, adalah calon pengantin (catin). Di titik itu pula intervensi negara harus dimulai. “Kalau bisa 21 tahun untuk perempuan, 25 tahun untuk laki-laki. Ini untuk menghindari stunting, memperkuat ekonomi, dan menciptakan keluarga berkualitas,” ungkapnya.
Quick Wins: Jurus Kilat Tangani Siklus Kehidupan
Dalam forum itu, Wihaji juga membeberkan lima quick wins Kemendukbangga yang difokuskan pada 72 juta keluarga Indonesia. Strategi ini mengacu pada siklus kehidupan: dari kelahiran, pertumbuhan, pendidikan, hingga pekerjaan.
“BKKBN akan masuk mengurus sektor yang tidak bisa ditangani satu kementerian saja, seperti stunting. Karena stunting menyangkut banyak sektor: air bersih, sanitasi, gizi, pendidikan,” tegasnya.
Dengan analogi sepeda motor, ia menyederhanakan logika kebijakan: “Tugas kita memastikan motor lengkap: ada rem, roda, bensin, surat-surat. Tapi kalau di jalan kecelakaan, itu tugas yang lain. Intinya: ibu hamil sehat, anak lahir sehat.”
Ubah Pengetahuan Jadi Perilaku
Wihaji menutup kuliahnya dengan menekankan bahwa kerja BKKBN kini harus fokus pada perubahan perilaku, bukan sekadar intervensi teknis. “Perilaku itu dimulai dari tahu. Tahu melahirkan sikap. Sikap yang konsisten jadi perilaku. Maka tugas kita adalah memastikan pengetahuan itu mengubah cara hidup,” katanya.
Misi BKKBN kini melampaui kontrasepsi. Lembaga ini telah berubah menjadi institusi yang mengurus lifespan manusia Indonesia dari hulu ke hilir — dari rahim hingga usia lanjut — dengan satu prinsip utama: hidup harus direncanakan, bukan sekadar dijalani.***
Discussion about this post