Ide Besar, Aktor Utama dan Masifikasi Gerakan Sosial
Dr. Dudy Imanuddin Effendi, M. Ag
DALAM kabar website PUI Jawa Barat tertanggal 18 April 2017, berjudul “Sejarah dan Dinamika PUI” terdapat paragraf kritik konstruktif dari angota Penasihat PP PUI, yakni Prof. Dr. H. Hasan Mu’arif Ambari, MA.
Beliau mengungkapkan bahwa harus diakui, “bendera” PUI jarang atau tidak berkibar seperti bendera ormas Islam lain, seperti NU dan Muhammadiyah. Popularitas PUI pun cukup jauh di bawah kedua ormas tersebut. Akibatnya, kehadiran PUI kurang dirasakan atau kurang dikenal di masyarakat.Penyebab utamanya menurut beliau, kegiatan PUI di berbagai wilayah cenderung tidak menampilkan kehadiran organisasi PUI itu sendiri.
“Penyelenggaraan kegiatan yang semestinya menunjukkan organisasi induk (PUI), sering dilakukan dengan mempergunakan lembaga lokal, misalnya yayasan, sehingga kehadiran PUI kurang dikenal masyarakat”.
Masih dalam refleksi memperingati hari fusi PUI (5 April 1952/9 Rajab 1371 H), telah disebutkan juga bahwa popularitas PUI tidak sebesar nama-nama pengurusnya. Di tingkat pusat (PP PUI), sejumlah tokoh tercantum sebagai pengurus PB PUI. Sebagai contoh saja, KH. Cholid Fadhlullah (Ketua Penasihat), HM. Ahmad Rifa’i (Ketua Dewan Pembina), KH. Anwar Saleh (Pembina), Prof. Dr. KH. Didin Hafiduddin (Dewan Pakar), Sunmanjaya Rukmandis, dan banyak lagi.
Sisi lain diakui juga saat ini, PUI memiliki jutaan kader anggota dan jaringan struktur terbesar yang ada di Jawa Barat. Konon jumlahnya ditaksir lebih dari 10 juta anggota. PUI memiliki ribuan madrasah mulai tingkat Raudlatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan yang sederajat, Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau SLTP, dan Madrasah Aliyah (MA) atau SLTA sampai tingkat Perguruan Tinggi.
Sedangkan dari keluasan jejaring struktur sudah tersebar di daerah-daerah tingkat I (propinsi), yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur DI. Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Aceh, Riau, Bengkulu, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan Bali.
Lalu kenapa eksistensi PUI ini tidak sepopulis Muhammmadiyah dan NU?. Sepakat dengan Muhammad Herry, dalam “Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20” memang berbeda dengan NU yang diwakili Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan juga Muhammadiyah dengan tokoh seperti Ahmad Syafii Maarif, PUI seperti dikemukakan Howard M. Federspiel, belum memiliki tokoh intelektual sentral yang mengganti arah moderasi perjuangan Ormas sejak KH. Abdul Halim, KH Ahmad Sanusi dan Mr. Syamsudin.
Setidaknya Abdurrahman Wahid dan Syafii Maarif memiliki andil besar untuk merubah landskap perjuangan NU dan Muhammadiyah agar tidak hanya berbicara tentang keislaman, tetapi juga fokus pada perjuangan tentang keindonesiaan dan kemanusiaan. Keduanya, Gus Dur dan Buya Syafii, diakui ketokohannya dalam menjaga moderasi keagamaan di Indonesia dengan semangat kebangsaan dan kebhinekaan dengan konsep-konsep khasnya.
Adanya kekosongan tokoh intelektual di PUI yang produktif menulis, mengkritisi atau memberi solusi masalah-masalah keindonesiaan dan kemanusiaan yang dijadikan trendsetter, panutan dan diakui keilmuannya secara Nasional menjadikan PUI masih menjadi bayang-bayang para tokoh di masa lalu, seperti KH. Abdul Halim dan KH. Ahmad Sanusi, yang tentu konteks perjuangannya sudah berbeda dengan saat sekarang.
Aksentuasi perjuangan dakwah Islam di PUI sampai saat ini masih kuat semangat konfrontasinya hanya dalam persoalan-persoalan keagamaan saja. Tentu kondisi ini harus menjadi bahan kontemplasi para pengiat PUI untuk melakukan reformulasi perjuangan dakwah Islam yang sesuai dengan konteks kekinian tanpa harus menghilangkan ruh masa lalunya.
Sepakat dengan teori “social agent” Piotr Sztompka dalam “Sosiologi Perubahan Sosial”, bahwa setiap perubahan itu akan terjadi dimanapun ruangnya,—termasuk juga di PUI—, akan tergantung kepada tiga faktor utama, yaitu faktor gagasan (ideas), profil orang besar (great individual) dan gerakan sosial (social movement).
Pertama, pentingnya gagasan (ideas) segar dalam membaca realitas keagamaan, kebangsaan dan kemanusiaan yang sesuai konteks kekinian merupakan upaya pembingkaian gerakan sosial PUI untuk mengedukasi masyarakat secara luas, baik skala nasional maupun internasional.
Sepakat dengan Ryan dan Gamson dalam “The Art of Reframing Political Debates”, bahwa framing gagasan ini berkoherensi dengan serangkaian simbol, gambar dan argumen-argumen yang menghubungkan harapan masyarakat luas melalui ide-ide yang diproduksi langsung oleh sebuah organisasi gerakan sosial atau para pengeraknya. Kehadiran ide-ide secara simultan yang bersifat kebaruan (modern) dengan mengunakan ekspresi dan bahasa yang khas dapat membingkai persepsi, respon dan penerimaan sosial secara masif.
Pembacaan realitas keagamaan, kebangsaaan dan kemanusiaan yang merupakan fakta sosial kekinian disematkan kedalam bingkai ide-ide penting organisasi, yang dapat mengarahkan publik tertarik untuk mengkaji, mendiskusikan, ikut menyebarluaskannya, bahkan jauhnya dijadikan sebagai paradigma dunia oleh masyarakat secara luas.
Akan tetapi pembingkaian ide-ide organisasi itu tetap harus memuat seruan secara implisit atau eksplisit untuk menumbuhkan prinsip-prinsip moral dalam konteks keagamaan, kebangsaaan dan kemanusiaan.
PUI sebagai organisasi sosial keagamaan yang memiliki akar historis yang cukup kuat di Indonesia telah mewariskan turast berharga bagi generasi saat ini dari para founding father-nya, yakni berupa ide besar mengenai delapan perbaikan (ishlahuts tsamaniyah).
Istilah “ishlahuts tsamaniyah” dari sisi simbol bahasa memiliki distingsi (pembeda khas) dengan istilah-istilah yang telah digunakan oleh organisasi sosial keagamaan yang lainnya, seperti NU yang mengarustamakan ide Islam Nusantara atau Muhammadiyah yang mengarusutamakan ide Islam Berkemajuan.
Pada perspektif di atas, PUI dengan turast yang telah diwariskan oleh para founding father-nya, yakni ide “ishlahuts tsamaniyah” sebenarnya bisa melakukan upaya reformulasi, reinterpretasi dan redefinisi ide tersebut agar sesuai dengan konteks zaman, baik di Indonesia maupun di dunia.
Berpijak pada term Ishlah, Abu al-Husayn Ahmad ibn Faris ibn Zakariyah dalam “Mu’jam Maqayis al-Lugah”, dan Louis Ma’luf, dalam “Al-Munjid fiy al-Lugah”, telah mendefinisikan kata ishlah berasal dari bahasa Arab yang berakar kata shalaha, terdiri atas tiga huruf yakni “الصاد”, “اللام” dan “الحاء”, serta makna dasarnya يدل على خلاف الفساد (pengertiannya menunjuk pada arti kebalikan dari kerusakan).
Adapun secara terminologi, shalaha mengandung pengertian bervariasi, antara lain; baik, tidak rusak, tidak binasa, saleh, patut, damai, bermanfaat, al-silmu (keselamatan) dan khilafu takhasamah (kebalikan dari permusuhan). Sedangkan Mahmud Yunus, dalam “Kamus Arab Indonesia” telah mendefinisikan kata ishlah dengan arti perdamaian, yakni terjalinnya suasana yang aman dan rukun dalam segala bidang.
Berpijak pada pengertian-pengertian itu dan sesuai dengan situasi yang sering terjadi di Indonesia dan di dunia, maka pengarusutamaan ide positif dari PUI untuk ditawarkan kepada masyarakat Indonesia dan dunia adalah “Islam Berkedamaian (al islam silmiin)” atau “Islam Perdamaian (‘iislam alsalam). Tentu pengarusutamaan ide “Islam Berkedamaian (al islam silmiin)” atau “Islam Perdamaian (‘iislam alsalam) ini harus diinterpretasi dan dikonseptualisasi secara matang dengan berpijak pada turast organisasi, yakni “ishlahuts tsamaniyah”.
Ide pengarusutamaan “Islam Berkedamaian (al islam silmiin)” atau “Islam Perdamaian (‘iislam alsalam) ini hanya salah satu upaya pencerahan pemikiran di PUI yang mungkin bisa menjadi pertimbangan ke depan agar sifat laten organisasi tetap terjaga. Begitupun pemikiran yang ditawarkan untuk mejawab tantangan dan problem zaman, terkhusus di Indonesia.
Ide pengarusutamaan “Islam Berkedamaian (al islam silmiin)” atau “Islam Perdamaian (‘iislam alsalam) memiliki spirit untuk keluar dari pelbagai anasir perpecahan antar sesama anak bangsa yang kadang mengarah kepada konflik sosial dan selalu menjadi faktor penghambat terjadinya pembangunan masyarakat modern lebih maju dan progresif.
Ide pengarusutamaan “Islam Berkedamaian (al islam silmiin)” atau “Islam Perdamaian (‘iislam alsalam) juga sesuai dengan spirit persatuan yang telah menjadi motif utama terjadinya FUSI pada tanggal 5 April 1952 bertepatan dengan 9 Rajab 1371 H di Bogor.
Kedua, pentingnya mencetak dan mengembangkan sumber daya manusia PUI menjadi profil-profil orang besar (the great actors) dihadapan publik luas. Sepakat dengan Carlyle, dalam “on Heroes, Hero Worship, and the Heroic in History”, bahwa kemajuan peradaban dapat diringkas ke dalam pikiran dan perbuatan dari beberapa tokoh terkemuka.
Secara historis, sejarah kemajuan yang telah dicapai manusia di dunia ini dasarnya banyak diinisiasi oleh aktor-aktor hebat yang telah bekerja secara cerdas, berkesinambungan melakukan perbaikan, selalu tampil kemuka, heroik dan bergerak progresif.
Sepakat dengan Featherstone, dalam “The heroic life and everyday life”, pembentukan profil-profil orang besar yang heroik, cerdas, berpikir luas dan berjiwa kepahlawan dalam arus utama teori sosial berhubungan erat dengan pertanyaan sosiologis secara mendasar tentang hubungan antara individu dan tatanan sosial, penyebab sejarah, tempat perilaku manusia dan pembentukan makna budaya.
Dalam konteks inilah maka organisasi sosial keagamaan (seperti juga PUI), harus mampu menghadirkan ruang-ruang kondusif dan akomodatif untuk mendorong hubungan sumber daya manusia, tatanan sosial keorganisasian, pembentukan budaya positif dan maju yang bisa melahirkan ide-ide cerdas sebagai penyebab utama terciptanya sejarah aktor-aktor besar PUI yang dapat diterima publik secara luas berdasarkan konteks zamannya.
Pengembangan organisasi untuk menciptakan orang-orang besar inilah yang menurut Weber dalam “Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology” bisa menjadi kekuatan progresif dalam membangun sejarah kebangkitan dan kemajuan.
Spencer dalam “The Study of Sociology” menyebutkan bahwa prasyarat sosiologis tentang lahirnya aktor-aktor besar adalah lingkungan masyarakatnya harus menciptakannya sendiri. Sebab lahirnya aktor-aktor utama di masyarakat merupakan hasil dari kumpulan kekuatan sangat besar yang telah bekerja sama secara berkelanjutan dari masa ke masa.
Ketiga, mengembangkan gerakan sosial (social movement) yang adaptabel dan kompatibel dengan kemajuan zaman. Ide-ide turast tentang ishlahuts tsamaniyah PUI yang telah dikonseptualisasi kedalam gagasan besar yang sesuai dengan kekinian, yakni “Islam Berkedamaian (al islam silmiin)” atau “Islam Perdamaian (‘iislam alsalam) harus menjadi gerakan problem solving disaat terjadi ketegangan-ketegangan sosial di Indonesia.
Sepakat dengan Robert Ted Guur, dalam “Why Men Rebel”, gerakan PUI harus hadir menawarkan Islam sebagai agama perdamaian (din alsalam) disaat terjadi ketegangan-ketegangan sosial yang mewarnai kehidupan berbangsa, dimana didalamnya terjadi konflik antara aktor-aktor yang telah dijadian panutan oleh masing-masing masyarakatnya. Begitu juga disaat terjadi ketegangan dalam kehidupan berbangsa akibat adanya resistensi sosial karena sebagian masyarakat merasakan “sesuatu yang dihargainya dan bermanfaat dirampas oleh pihak-pihak tertentu”.
Dalam situasi seperti di atas, maka PUI harus menawarkan sebuah gerakan Ishlah yang efektif dan produktif untuk bisa menjembatani terjadinya relative deprivation, yakni adanya kesenjangan antara nilai yang diharapkan (value expectation) dengan kapabilitas untuk meraih nilai (value capabalities) yang diperlukan oleh masyarakat luas. Relative deprivation ini bisa menyulut ketidakpuasan dalam masyarakat, yang berwujud kejengkelan, kemurkaan dan kemarahan sosial karena hak-hak mereka merasa terampas.
Bahkan kalau dibiarkan dalam kebuntuan tanpa ada saluran, maka ketidakpuasan sosial itu dapat bermetamorfosis menjadi pemberontakan dengan cara kekerasan yang berwujud kekacauan, konspirasi atau bahkan perang dalam negeri. Sepakat dengan Guur, ketidakpuasan masyarakat itu akan berkurang bila tersedia sarana yang dapat menjadi media atau fasilitator untuk menyalurkannya.
Saluran ini disebut value opportunities, yang perlu diambil oleh PUI untuk menjadi fasilitator atau mediator bagi kepentingan masyarakat luas. Sehingga jauhnya, tokoh-tokoh PUI akan mendapat kepercayaan sosial untuk mengisi struktur peluang politik (political opportunity structure) dalam upaya menguatkan peran perubahan sosial secara progresif ke arah lebih baik dan maju.
Selanjutnya gerakan sosial PUI, sepakat dengan teori paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization paradigm) yang dikembangkan oleh Craig J Jenkins, dalam “Resource Mobilization Theory and the Study of Social Movement” harus mulai memusatkan perhatian pada sebuah gerakan yang menjalankan proses sistem mobilisasi yang sangat terorganisir secara lebih rasional dan lebih canggih, baik dari segi karakteristik, model-model bahkan bentuk-bentuk gerakan yang akan dilakukan oleh para pengikutnya dalam menghadapi kondisi zaman yang semakin maju.
Dalam konteks ini, para individu perlu dimobilisasi untuk mengambil bagian secara aktif didalam aktivitas-aktivitas yang sudah ditetapkan oleh organisasi.
Mancur Olson, dalam “The Logic of Collective Action”, menekankan bahwa sistem logika rasionalitas tindakan kolektif dari sebuah gerakan sosial dipresentasikan dalam peranan-peranan faktor objektif tertentu sebagai kepentingan, organisasi, sumber daya, strategi, dan kesempatan dalam melakukan mobilisasi kolektif skala besar.
Dalam konteks ini sepakat dengan Charles Tilly, dalam “From Mobilization to Revolution”, bahwa yang paling sifnifikan dalam sebuah gerakan sosial adalah tampilnya para aktor organisasi yang dianggap sebagai mahluk rasional yang mampu bernalar dan terampil mengkalkulasi keberhasilan dan kegagalan untuk bisa membangun aksi solidaritas sosial demi kepentingan-kepentingan kolektif. Artinya jika dikaitkan dengan PUI, terdapat konsekuensi logis untuk membuka ruang seluas-luasnya, baik difasilitasi atau tidak untuk tumbuhkembangnya aktor-aktor yang memiliki kapasitas berpikir lebih.
Selanjutnya, gerakan sosial yang akan dibangun PUI harus berpijak pada paradigma yang berorientasi kepada penguatan identitas organisasi. Paradigma ini berorientasi pada gerakan sosial yang lebih menekankan pada peranan identitas yang melandasi semangat individu dalam suatu gerakan. Menurut paradigma identitas, para partisipan menegaskan aksi-aksi gerakan sosial bukan dalam kerangka menjadi pengemban nilai-nilai tertentu saja, melainkan juga menguatkan identitas kolektif.
Terdapat kesepakatan umum bahwa gerakan berorientasi kepada penguatan identitas adalah ekspresi pencarian manusia terhadap identitas, otonomi dan pengakuan sosial. Pizzorno, dalam “Political Exchange and Collective Identity in Industrial Conflict” mengatakan bahwa logika formasi identitas kolektif melibatkan partisipasi langsung para aktor dalam aksi-aksi kolektif organisasi sosial. Menurutnya, identitas tidak bisa dibentuk melalui partisipasi tidak langsung, delegasi atau perwakilan, melainkan identitas diproduksi langsung oleh pelibatan dan interaksi para aktor-aktornya secara kolektif.
Dalam hal ini, Pizzorno menilai bahwa logika aksi kolektif sebagai ekspresi para aktor gerakan Sosial dalam pencarian, penyebaran dan pengakuan identitas organisasi. Jean Cohen dalam “Class and Society: The Limits of Marxian Critical Theory”, menyebutkan bahwa ciri mendasar dari terbentuknya masifikasi gerakan sosial disebabkan adanya kesadaran terhadap pengembangan kapasitas diri untuk menciptakan, menyebar identitas dan membangun keberdayaan para aktor yang terlibat di organisasi sosial tertentu.
Berpijak dari pandangan ini, maka PUI sepertinya harus mulai menciptakan gerakan yang dapat menumbuhkan kesadaran para pengikutnya untuk memaksimalkan kapasitasnya agar bisa menciptakan dan menebar identitas PUI secara masif kepada masyarakat luas. Kesadaran yang bisa menumbuhkan rasa percaya diri saat ber-PUI dimana dan kapanpun.
Akhiran, catatan sederhana ini merupakan refleksi atas hari Fusi PUI pada tanggal 5 April 2001 yang lalu. Sepakat dengan Peter L. Berger & Thomas Lukhmann, dalam “Tafsir Sosial atas Kenyataan”, PUI sebagai produk konstuksi sosial masa lalu harus mulai mengembangkan gagasan-gagasan kekinian, menciptakan tokoh-tokoh publik, dan mengembangkan gerakan sosial yang sesuai dengan tantangan dan tuntutan zaman.
Hasil dari reinterpretasi, rekonseptualisasi bahkan reformulasi turast ishlahuts tsamaniyah yang sesuai dengan konteks zaman harus selalu di eksternalisasi, di objektivasi, dan di internalisasi, baik untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi, agar pengakuan PUI di tengah-tengah masyarakat semakin meluas. Jika tidak maka bisa jadi PUI hanya menjadi organisasi yang selalu di bayangi-bayangi para tokoh di masa lalunya. Bahkan bisa jadi hanya sebagai artefak sejarah yang hanya diingat dan dirayakan oleh sebagian kecil orang saja.
*) Penulis: Lajnah Buhuts Dewan Syariah PUI Jawa Barat
Discussion about this post