Bogor. madania.co.id — Peringatan Hari Kependudukan Dunia 2025 yang digelar di Kampung Keluarga Berkualitas, Kelurahan Sindangbarang, Kota Bogor, pada Selasa (30/7), bukan sekadar seremoni tahunan.
Ia adalah pengingat keras dimana masa depan Indonesia sangat bergantung pada bagaimana bangsa ini memperlakukan 64 juta remaja yang kini menjadi tulang punggung demografi nasional.
Dalam agenda yang diinisiasi Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN bersama UNFPA ini, hadir tokoh-tokoh strategis seperti Deputi Bidang Pengendalian Penduduk Dr. Bonivasius Prasetya Ichtiarto, Wali Kota Bogor Dedie A. Rachim, serta perwakilan UNFPA dan jajaran pemerintah daerah.
Namun di luar kehadiran formal itu, pertanyaan paling mendasar tetap menggantung: sejauh mana negara benar-benar hadir menjawab tantangan remaja hari ini?
Ketika Bonus Demografi Menjadi Beban
Dr. Bonivasius menegaskan bahwa seperlima populasi Indonesia adalah remaja. Namun angka ini, jika tak dikelola serius, lebih menyerupai beban laten ketimbang bonus demografi. Pernikahan anak, tingginya angka putus sekolah, dan terbatasnya akses informasi soal kesehatan reproduksi menjadi benang kusut yang belum terurai.
“Tugas kita bukan hanya mengedukasi, tapi memastikan remaja memiliki daya tawar dalam mengambil keputusan penting dalam hidup mereka,” ujarnya lugas di hadapan lebih dari 300 peserta muda yang hadir.
Bogor dan Simulakra Kota Ramah Keluarga
Wali Kota Bogor, Dedie A. Rachim, menyambut hangat kepercayaan pemerintah pusat menjadikan kotanya sebagai tuan rumah. Dalam pidatonya, ia menyatakan bahwa Bogor telah menetapkan diri sebagai kota ramah keluarga—klaim yang tampaknya masih perlu dibuktikan di lapangan.
“Dengan slogan Yang Muda yang Berdaya, kami dorong semua program pembangunan diarahkan pada penguatan institusi keluarga,” katanya. Tapi dalam realitasnya, angka perceraian, tekanan sosial ekonomi, hingga terbatasnya ruang partisipasi remaja dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal masih menjadi tantangan struktural yang belum terpecahkan.
Ritualisasi Program Tanpa Akar Kuat
Kegiatan ini juga menyertakan pelayanan KB gratis, pameran administrasi kependudukan, hingga booth edukatif seperti GATI (Gerakan Ayah Teladan Indonesia) dan TAMASYA (Taman Asuh Sayang Anak). Semuanya tampak meriah. Tapi apakah cukup?
Tanpa perombakan sistemik dalam pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi remaja, seluruh seremoni ini berisiko menjadi sekadar ritual tahunan yang kehilangan relevansi.
Menuju 2045: Retorika atau Agenda Nyata?
Menjelang Indonesia Emas 2045, pertanyaan mendasar yang harus dijawab negara adalah apakah generasi muda hari ini sungguh dipersiapkan menjadi pemimpin masa depan, atau justru dikorbankan dalam narasi besar pembangunan tanpa keberpihakan nyata? ***
Discussion about this post