Madania.co.id – Hidangan roti buaya sudah banyak diketahui masyarakat luas. Roti ini lahir dari kebudayaan dan tradisi suku Betawi. Suku Betawi menjadi sangat sentral karena suku ini berada di pusat Ibukota Indonesia, yaitu Jakarta.
Roti buaya tak akan lepas dari masyarakat Betawi. Bila ada tetangga atau teman kamu yang menyajikan roti buaya, dapat dipastikan dirinya ‘Anak Betawi Asli’ (sebutan bagi orang yang berasan dari suku Betawi). Berbeda dari makanan khas Betawi lainnya, roti buaya lebih masuk ke kuliner khas Betawi karena tidak digolongkan sebagai makanan keseharian. Dilansir dari cairofood.id
Roti yang memiliki panjang sekitar 50cm ini memiliki filosofi mendalam. Melansir dari laman Warisan Budaya Kemdikbud, roti buaya memiliki makna sebagai ungkapan kesetiaan pasangan yang menikah untuk sehidup semati, mengarungi bahtera rumah tangga hingga akhir hayat.
Selain itu, roti buaya juga melambangkan kesabaran, lambang kejantanan, kemapanan ekonomi, dan harapan. Selama perjalanan, roti ini tidak boleh rusak sampai ke tangan pengantin perempuan. Setelah akad selesai, roti akan dibagikan kepada sanak saudara yang belum menikah, maksudnya agar mereka segera mendapatkan jodoh. Dilansir dari medcom.id
Roti buaya hadir karena adanya fase kehidupan masyarakat Betawi. Dalam kehidupan orang Betawi, ada tiga fase kehidupan yang dianggap penting, yaitu khitanan, pernikahan, dan kematian.
Fase pertama yaitu khitanan. Perayaan khitanan dilakukan dengan semarak dan meriah oleh masyarakat Betawi, di mana setelah upacara ini seorang anak wajib melakukan ibadah dan memahami peraturan adat yang ada.
Fase kedua adalah upacara pernikahan, dimana adanya kemeriahan adat dan tradisi Betawi, berupa palang pintu juga roti buaya.
Fase ketiga adalah kematian. Berbeda dengan kedua fase lainnya, upacara kematian indentik dengan melaksanakan pembacaan Al-Quran. Hadirnya roti buaya ini merupakan fase kehidupan, yaitu pernikahan.
Suku Betawi percaya bahwa buaya hanya kawin sekali dengan pasangannya; karena itu roti ini dipercaya melambangkan kesetiaan dalam perkawinan. Dilansir dari id.m.wikipedia.org
Pada saat pernikahan, roti diletakkan di sisi mempelai perempuan dan para tamu kondisi roti ini melambangkan karakter dan sifat mempelai laki-laki. Buaya secara tradisional dianggap bersifat sabar (dalam menunggu mangsa).
Selain kesetiaan, buaya juga melambangkan kemapanan. Akan tetapi kini dalam simbolisme budaya modern, makna buaya berubah menjadi hal yang buruk, misalnya buaya judi, buaya minum (pemabuk) dan buaya darat (orang yang mata keranjang).
Seserahan roti buaya ini sudah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda dan masih dilakukan hingga saat ini.
Menurut budayawan Betwai dikutip dari pariwisataindonesia.id wujud buaya dipilih berdasarkan geografis Jakarta masa itu yang banyak dikelilingi oleh sungai, yang membuat masyaakat kerap berjumpa dengan buaya, selain itu terdapat mitos tentang buaya putih yang menjadi penunggu entuk atau sumber mata air.
Buaya tersebut menjaga dengan penuh kesetiaan sumber mata air sekaligus sumber kehidupan masyarakat, sehingga buaya dijadikan sebagai simbol kehidupan.
Selain itu secara historis roti buaya merupakan kreasi makanan yang ditinggalkan oleh bangsa Belanda. Masyarakat Betawi zaman dahulu hanya menggunakan kayu, daun kelapa dan kemudian kue untuk dibentuk menyerupai buaya, yang kemudian diletakkan di depan rumah sebagai tanda perempuan tersebut sudah dipersunting.
Meskipun Buaya kerap dikonotasikan buruk dan kerap disandingkan dengan sebutan “buaya darat” namun di habitat aslinya, Buaya merupakan hewan yang setia pada pasangannya.
Buaya jantan tidak akan akan mencari pasangan baru ketika sang betina mati alias hewan monogami.
Bahkan buaya jantan sangat protektif dalam menjaga betinanya yang sedang bertelur, saat musim kawin tiba buaya jantan juga akan kembali memilih pasangan yang telah dimiliki sebelumnya.
Maka, tak heran karakter buaya dijadikan lambang dalam seserahan berbentuk roti
(Anisa Fitriani)
Discussion about this post