Bandung, madania.co.id – Pemerintah Provinsi Jawa Barat kembali memamerkan trofi tahunan mereka yakni predikat provinsi dengan nilai investasi tertinggi se-Indonesia.
Hingga Juli 2025, angka realisasi investasi mencapai Rp72,5 triliun. Namun, di balik parade angka bombastis itu, satu hal tetap stagnan: kehidupan rakyat kecil.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyebut capaian itu hasil kerja kolektif seluruh lapisan birokrasi, dari RT hingga kepala dinas. Semua disebut berperan menjaga iklim investasi tetap “kondusif”. Tapi tak ada penjelasan lugas, kondusif untuk siapa? Investor besar? Pengembang properti? Atau rakyat yang masih pontang-panting cari kerja dengan gaji pas-pasan?
“Terima kasih kepada seluruh pihak yang telah menjaga iklim investasi dari gangguan, hambatan infrastruktur, hingga keamanan,” ujar Demul – sapaan akrab Dedi Mulyadi, Rabu (30/7).
Investasi Tumbuh, Upah Tak Naik-naik
Kepala Dinas Penanaman Modal Jabar, Dedi Taufik, memuji kecepatan layanan perizinan dan kemudahan berusaha sebagai kunci sukses.
Tapi kenyataannya, derasnya arus investasi belum menyentuh dapur-dapur rakyat kecil. Banyak pabrik berdiri, tapi upah tetap minimum, kerja kontrak makin masif, dan tenaga kerja lokal kerap tersisih oleh tenaga dari luar daerah.
Pemprov memang merencanakan digitalisasi rekrutmen pekerja mulai Agustus 2025. Tapi digitalisasi hanya akan menjadi gincu di wajah sistem ketenagakerjaan yang rapuh.
Kalau jenis pekerjaannya tetap kasar, bergaji rendah, dan tanpa jaminan sosial, apakah sistem digital bisa menyulap nasib jadi lebih baik?
“Perusahaan cukup mengakses data pekerja, lalu panggil kandidat sesuai kualifikasi,” ujar Demul
Kualifikasi siapa? Apakah lulusan SMK dan SMA di daerah pelosok Cianjur, Garut, atau Majalengka sudah benar-benar masuk radar perusahaan? Atau hanya akan jadi data mati di aplikasi digital ala Pemprov?
Investor Datang, Rakyat Terpinggirkan
Setiap kali angka investasi diumumkan, pemerintah seperti lupa pada wajah-wajah yang tak muncul di layar presentasi, buruh outsourcing yang hidup dari upah harian, petani yang kehilangan lahan karena alih fungsi kawasan, dan anak muda yang menganggur meski sudah berkali-kali ikut pelatihan.
Pemerintah sibuk bicara regulasi, perizinan, dan “kemudahan usaha” — tapi abai memastikan bahwa investasi tidak berubah jadi alat penindasan baru.
Tanpa pengawasan ketat dan transparansi, Rp72,5 triliun itu hanya jadi catatan indah di meja birokrat, bukan harapan nyata bagi rakyat.
Investasi Jangan Jadi Ilusi Statistik
Pemerintah Jawa Barat optimistis capaian akhir tahun bisa melebihi Rp100 triliun. Tapi masyarakat harus waspada karena angka-angka bisa menipu. Nilai investasi bisa tinggi, tapi yang mendapat manfaat hanya segelintir elite pengusaha dan birokrat pemilik akses.
Sudah terlalu lama rakyat dijadikan latar belakang seremoni. Saatnya bertanya keras:
Jika investasi sebesar itu benar ada, mengapa pengangguran masih tinggi? Mengapa desa-desa tetap miskin? Mengapa gaji buruh tak pernah naik layak?
Discussion about this post