Bandung, madania.co.id – Bulan Desember 2025, bagi sebagian pejabat, itu sekadar tenggat administratif. Tapi bagi warga sekitar TPA Burangkeng, Bekasi, atau Pangandaran, itu berarti harapan tipis untuk terbebas dari bau busuk, lalat, dan asap pembakaran liar.
Sekretaris Daerah Jawa Barat, Herman Suryatman, telah mengibarkan “bendera perang” melawan open dumping—metode penimbunan sampah di udara terbuka yang sejak 2008 dilarang Undang-Undang. “Sampah bukan masalah biasa, ini masalah luar biasa,” tegasnya.
Namun, investigasi madania.co.id menemukan pola yang familiar mulai dari janji penutupan open dumping bukan hal baru. Dokumen rapat koordinasi lingkungan 2017 mencatat, Jawa Barat sudah pernah menargetkan konversi penuh ke controlled landfill pada 2020. Nyatanya, hingga Agustus 2025, belasan TPA tetap beroperasi dengan sistem lama, dari Cirebon hingga Sukabumi.
Produksi Sampah yang Melebihi Kapasitas
Data Dinas Lingkungan Hidup Jabar menunjukkan provinsi ini memproduksi sekitar 26 ribu ton sampah per hari. Kapasitas pengolahan formal hanya mampu menampung 40%-nya.
Sisanya menumpuk di TPA tanpa pengolahan memadai atau tercecer ke sungai. TPA Burangkeng, misalnya, menerima 2.800 ton sampah per hari—dua kali lipat dari kapasitas ideal. Lindi (cairan limbah sampah) merembes ke aliran Kali Bekasi, yang airnya masih digunakan warga untuk mandi dan mencuci.
Teknologi yang Mandek di Meja Rencana
Herman mempromosikan teknologi RDF (refuse-derived fuel) sebagai solusi masa depan, mengubah sampah jadi bahan bakar untuk pabrik semen. Tapi dokumen proyek menunjukkan, dari tujuh rencana fasilitas RDF di Jabar, baru dua yang beroperasi penuh. Sisanya terhambat pembebasan lahan, masalah anggaran, dan resistensi warga.
Politik dan Dana
Sumber internal di DPRD Jabar menyebutkan bahwa sebagian daerah enggan beralih ke controlled landfill karena membutuhkan investasi awal 2–3 kali lipat dibanding open dumping.
“Ini bukan cuma soal teknologi, tapi soal komitmen politik. Banyak kepala daerah yang masa jabatannya hampir habis, enggan mengeluarkan anggaran besar untuk proyek yang hasilnya baru terasa di periode berikutnya,” kata sumber itu.
Dampak Langsung ke Warga
Di sekitar TPA Kopi Luhur, Cirebon, warga melaporkan meningkatnya kasus ISPA dan diare, terutama di musim hujan ketika air lindi mengalir ke sumur. “Sudah biasa di sini bau terus. Tapi kalau hujan, sumur jadi keruh,” kata Dedi, warga setempat.
Tenggat yang Menghantui
Dengan sisa waktu kurang dari lima bulan, pemerintah provinsi menggulirkan insentif berupa penghargaan Gapura Sri Baduga untuk desa dan Makuta Binokasih untuk kabupaten/kota terbaik. Tapi penghargaan hanyalah kosmetik. “Kalau sistem pengangkutan, pemilahan, dan pengolahan di TPA tidak dibenahi, label Adipura hanya jadi pajangan,” kata pengamat lingkungan Andri Herdiansyah
Jika Desember kembali menjadi tenggat yang meleset, Jabar akan mengulang siklus yang sama: target ambisius, realisasi minim, dan warga yang terus menghirup udara tercemar. Bom waktu sampah itu akan tetap berdetak—lebih dekat pada saat meledaknya.
Discussion about this post