Oleh Karsidi Diningrat
Rasulullah shallallahu alihi wa sallam telah bersabda, “Barang siapa yang tidak berpuasa satu hari dari bulan Ramadhan tanpa uzur atau sakit, maka puasa sepanjang masa tidak dapat menggantikannya meski ia melakukannya (puasa itu).” (HR. Bukhari).
Dalam hadits yang lain disebutkan, “(Melaksanakan) shalat lima waktu, Jumat hingga Jumat berikutnya, dan Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya merupakan penghapus (dosa) di antara keduanya selama pelakunya meninggalkan dosa-dosa besar.” (HR. Muslim).
Rasulullah Saw. bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara. Bersaksi bahwa tiada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berhaji ke Baitullah, dan puasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim melalui Ibnu Umar r.a.).
Dalam hadis yang senada disebutkan, “Islam ialah, hendaknya engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, membayar zakat yang difardhukan, bershaum di bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah.” (HR. Syaikhan).
Lima Perkara
Rukun Islam itu ada lima perkara. Pertama ialah menyembah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Makna yang dimaksud ialah diikuti pula dengan taat dan patuh kepada Nabi Muhammad Saw karena beliau adalah hamba dan utusan-Nya. Berkat beliaulah kita mengetahui bahwa kita harus menyembah kepada Allah Swt. semata dan tidak boleh mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Atau jelasnya rukun Islam yang pertama ialah kalimat syahadatain. Rukun Islam yang kedua ialah mengerjakan shalat lima waktu, yang ketiga membayar zakat wajib setiap tahunnya menurut ketentuan nishab-nya masing-masing, yang keempat, puasa bulan Ramadhan, dan yang kelima, mengerjakan haji ke Baitullah bagi orang yang mampu menunaikannya.
Hammad bin Zaid meriwayatkan dari Amr bin Malik Al-Bakri, dari Abul Jauzaa, bahwa Ibnu Abbas berkata, “Tali-tali Islam dan landasan agama ada tiga, di atasnya Islam didirikan. Barang siapa meninggalkan salah satu dari ketiganya, maka dengan ini ia telah kafir dan halal darahnya, yaitu bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah, shalat maktubah (fardhu), dan puasa Ramadhan.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta serta kebodohan, maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya (puasanya).” (HR. Bukhari).
Bila bukan Sakit atau Alasan Tertentu
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa, “Rasulullah Saw. menaiki mimbar (untuk berkhotbah). Menginjak anak tangga pertama beliau mengucapkan, “Aamin”, begitu pula pada anak tangga kedua dan ketika, seusai shalat para sahabat bertanya, “Mengapa Rasulullah mengucapkan, “Aamin”? Beliau lalu menjawab, “Malaikat Jibril datang dan berkata, “Kecewa dan merugi seorang yang bila namamu disebut dan dia tidak mengucap shalawat atasmu” lalu aku berucap “Aamin”.
Kemudian malaikat berkata lagi, “Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan hidup bersama kedua orang tuanya tetapi dia tidak sampai bisa masuk surga.” Lalu aku mengucapkan “Aamin”. Kemudian katanya lagi, “Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan (hidup) pada bulan Ramadhan tetapi tidak terampuni dosa-dosanya.” (HR. Ahmad).
Imam Adh-Dhahabi mengatakan bahwa, “Bagi orang-orang beriman, orang yang meninggalkan puasa Ramadhan bukan karena sakit atau alasan tertentu itu lebih buruk dari pezina, pemungut pungutan liar, dan pecandu miniman keras (khomer). Bahkan, mereka meragukan keislamanya dan mengira termasuk dari orang-orang zindik.”
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata bahwa puasa Ramadhan ialah beribadah kepada Allah dengan meninggalkan makan dan minum serta bersetubuh semenjak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Itulah arti puasa. Ia beribadah bukan karena kebiasaan atau untuk kepentingan badan semata dalam kurun beberapa waktu saja. Akan tetapi, ia beribadah selama satu bulan penuh, yakni dari terlihatnya hilal bulan Ramadhan hingga terlihatnya hilal bulan Syawal.”
Puasa Ramadhan Hukumnya Wajib
Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam. Hukumnya wajib berdasarkan dalil dari kitab dan sunnah. Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah, 2:183). “Amalkan semua yang diwajibkan (fardhu) Allah, niscaya kamu menjadi orang yang paling bertaqwa.” (Ath-thahawi).
Imam Adz-Dzahabi mengatakan bahwa, ‘Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang meninggalkan puasa Ramadhan karena lalai dan malas, apakah ia kafir atau tidak? Pendapat yang benar ialah ia tidak menjadi kafir. Sebab, seseorang tidaklah menjadi kafir dengan meninggalkan salah satu rukun Islam selain syahadat dan shalat.
Adapun jika ia meninggalkannya tanpa alasan, maka ia diqiyaskan: setiap ibadah yang memiliki batasan waktu tertentu apabila sengaja ditinggalkan hingga keluar dari waktunya tanpa unzur yang benar maka amalnya tidak akan diterima – jika dilaksanakan di luar waktu. Akan tetapi, yang harus dilakukannya ialah beramal shaleh, memperbanyak ibadah nafilah (sunnah), dan beristighfar.” Pernyataan ini berdasarkan Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa yang berbuat suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalannya tersebut ditolak.”
Sedangkan Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy berpendapat, “Barang siapa lalai dalam menggantikan puasa Ramadhan tanpa ada uzur sampai datang bulan Ramadhan berikutnya, maka ia wajib memberi makan orang miskin setiap hari sebagai pengganti puasanya. Apabila ada seorang muslim meninggal dunia dan ia mempunyai hutang puasa, maka walinya yang menggantikan puasanya. Ini berdasarkan hadis Nabi Saw, “Barang siapa meninggal dunia dan masih mempunyai hutang puasa, maka walinya yang berpuasa atas namanya.” (HR. Al-Bukhari).
Mengganti Puasa
Dan dalam hadits yang lain disebutkan ketika ada salah seorang sahabat yang bertanya, “Sesungguhnya ibu saya telah meninggal dunia dan ia mempunyai hutang puasa, apakah saya boleh menggantikan puasa atas nama ibu saya?” Nabi Saw. menjawab, “Ya, hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi.” (HR. Al-Bukhari).
Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa mati lalu masih mempunyai utang shaum, maka yang menggantikannya adalah walinya.” (HR. Abu Daud). Apabila seseorang meninggal dunia, sedangkan ia berhutang puasa, maka yang membayarnya ialah walinya, yakni si wali mayat, yaitu dengan puasa lagi sebanyak hari-hari yang ditinggalkan oleh si mayat.
Dan pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, seperti halnya ibadah yang memiliki batasan waktu tertentu tidak boleh dilakukan sebelum tiba waktunya, ibadah itu juga tidak boleh dikerjakan setelah habis waktunya. Adapun jika terdapat uzur seperti bodoh dan lupa, maka dalam hal ini Nabi Saw. bersabda, “Barang siapa yang tidur (hingga) tidak mengerjakan shalat atau lupa (mengerjakannya), maka hendaklah ia shalat ketika ia mengingatnya, tidak ada kafarat baginya selain itu.” (HR. Muslim).
Berkata Abu Hurairah: Rasulullah Saw. Bersabda, “Barang siapa lupa, padahal ia sedang berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena tidak lain ia diberi makan dan minum oleh Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lain disebutkan, “Dibebaskan dari umatku kekhilafan, kelupaan dan apa yang mereka dipaksa melakukannya.”
Kafarat itu Apa?
Lebih lanjut Syaikh Al-Jazairy mengatakan bahwa, “Kafarat ialah suatu upaya untuk menghapus dosa karena melanggar aturan Pembuat syariat. Barang siapa melanggar aturan Allah, misalnya ia bersetubuh di siang hari pada bulan Ramadhan, atau makan atau minum dengan sengaja, maka ia wajib membayar kafarat atas kesalahan ini dengan melakukan salah satu dari tiga hal, yaitu memerdekakan budak yang beriman, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enam puluh orang miskin. Masing-masing orang miskin satu mud gandum, jewawut, atau kurma menurut kadar kemampuan”.
Ketentuan ini berdasarkan hadits tentang lelaki yang bersetubuh dengan istrinya, lalu ia meminta fatwa kepada Rasulullah Saw. Ketentuan kafarat ini setimpal dengan kesalahan yang dilakukan. Jadi, barang siapa bersetubuh di suatu hari, dan ia makan dan minum pada hari yang lain, maka ia mempunyai kewajiban kafarat yang berlipat.
Berkata Abu Hurairah: Seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw., kemudian berkata, “Celaka aku, ya Rasulullah!” Berkata Rasul Saw, “Apa yang menyebabkan engkau celaka?” Lelaki itu berkata, “Aku telah menggauli istriku pada bulan Ramadhan.” Berkata Rasulullah Saw., “Adakah engkau mempunyai harta untuk membebaskan seorang hamba sahaya?” Jawabnya, “Tidak.” Berkata Rasulullah saw., “Sanggupkah engkau berpuasa dua bulan berturut-turut?” Jawabnya, “Tidak.” Kata Rasul Saw., “Adakah engkau mempunyai harta untuk memberi makan enampuluh orang miskin?” Jawabnya, “Tidak.” Kemudian duduklah lelaki itu. Lalu ada seseorang membawakan kepada Nabi Saw. sebuah wadah berisi kurma, maka berkata Rasul Saw., “Bersedekahlah dengan (kurma) ini.” Berkata lelaki itu, “Apakah aku harus bersedekah kepada orang yang lebih fakir daripadaku? Sesungguhnya tidak ada di antara dua buah batu hitamnya (terletak di kanan-kiri Madinah) penghuni rumah yang lebih berhajat daripada kami.” Berkata Abu Hurairah: Maka tersenyumlah Nabi Saw. hingga nampak gigi-gigi taringnya, kemudian bersabda, “Pergilah engkau dan beri makanlah keluargamu dengannya.”
Hikmah Kafarat
Adapun hikmah adanya kafarat ialah melindungi syariat agar tidak dipermainkan dan dicabik-cabik kehormatannya. Kafarat juga dapat membersihkan jiwa seorang muslim dari dosa-dosa kesalahan yang dilakukan tanpa uzur. Dengan demikian, semestinya kafarat dilakukan sesuai aturan yang telah disyariatkan, baik kuantitas maupun tata caranya sehingga dapat tercapai tujuan kafarat, yakni menghapuskan dosa serta menghilangkan pengaruh maksiat dari jiwa. Dasar kafarat ialah firman Allah Swt, “Sesungguhnya perbutan-perbuatan yang baik itu dapat menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).” (QS. Hud, 11: 114). Dalam suatu hadits disebutkan, “Perbuatan-perbuatan yang ma’ruf (bajik) dapat memelihara diri dari keburukan yang membinasakan ….(HR. Thabrani). ” … ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya menghapusnya …. (HR. Tirmidzi). Wallahu a’lam bish-shawwab.
Discussion about this post