BANDUNG, Madania.co.id – Dalam balutan iringan angklung dan wangi dupa yang membungbung pelan, ratusan warga dan tamu berkumpul di daerah Kuningan. Mereka mengikuti salah satu upacara adat paling sakral bagi masyarakat Sunda, yakni Seren Taun.
Tahun ini, Seren Taun digelar pada 14-19 Juni 2025, bertepatan dengan tanggal 17-22 Rayagung 1958 dalam penanggalan kalender Saka. Berpusat di Gedung Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan.
Upacara ini menjadi puncak rasa syukur masyarakat agraris atas hasil panen yang melimpah serta awal dari tahun pertanian yang baru. Lebih dari sekadar pesta adat, Seren Taun adalah jembatan spiritual antara manusia, alam, dan Tuhan.
Mengenal Upacara Seren Taun
Seren Taun dalam bahasa Sunda berarti “menyerahkan tahun”, atau menandai berakhirnya satu siklus panen dan dimulainya musim tanam baru. Tradisi ini diwariskan secara turun-menurun, khususnya di wilayah Jawa Barat seperti Kuningan, Ciptagelar, dan SindangBarang, sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan alam.
Selama enam hari pelaksanaan, rangkaian kegiatan adat diselenggarakan dengan khidmat dan meriah, antara lain:
- Pawai Dongdang, arak-arakan hasil bumi seperti padi, sayur, dan buah dalam wadah hias yang dipikul bersama-sama.
- Ngajayak Pare, membawa padi ke lumbung adat sebagai simbol rasa syukur dan doa keberkahan.
- Ngaseuk Pare, ritual menanam padi pertama sebagai pembuka tahun pertanian.
- Doa dan ritual adat, dipimpin oleh kuncen dan juru kunci, dengan bacaan leluhur dan persembahan khusus.
Rangakaian prosesi juga diramaikan dengan pertunjukan seni tradisional seperti wayang golek, jaipongan, pencak silat, dan kesenian Sunda lainnya yang menghidupkan suasana malam hingga dini hari.
Makna dan Pesan Budaya
Seren Taun bukan sekedar upacara, tapi juga sarana muhasabah dan harmoni. Melalui tradisi ini, masyarakat diajak merenungkan hubungan manusia dengan tanah, sesama, dan dengan Yang Maha Kuasa.
Meski terbuka untuk umum dan wisatawan, Seren Taun adalah budaya yang harus dijaga nilai kesakralannya. Pemerintah daerah dan komunitas adat sering bekerja sama menjaga pelestarian ini, agar tidak hanya menjadi tontonan, tapi juga menjadi warisan hidup yang menyentuh hati.
Di tengah modernitas yang terus melaju, Seren Taun hadir sebagai napas budaya yang menyejukkan. Ia mengajarkan bahwa dalam setiap bulir padi ada doa, dalam setiap gerak ada warisan, dan dalam setiap langkah ke ladang ada jejak kearifan lokal.***(Alifya Syifaa-ul Fathonah)











Discussion about this post