Bandung, madania.co.id – Di tengah hiruk-pikuk dunia korporasi yang kerap dibalut jargon tanggung jawab sosial, Srikandi PLN UID Jawa Barat menunjukkan bahwa kepedulian tak harus berhenti di meja rapat atau laporan tahunan.
Lewat kegiatan “Srikandi Sahabat Anak” yang digelar di Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Juanda, Bandung, mereka menyapa langsung 23 anak disabilitas dari Yayasan Rumah Hasanah, menghadirkan kebahagiaan nyata, bukan sekadar simbolik CSR.
Anak-anak itu diajak menjelajah alam, bernyanyi, bermain alat musik, hingga terlibat dalam berbagai permainan interaktif. Di akhir kegiatan, mereka menerima bantuan berupa alat edukasi, terapi, dan kebutuhan pendukung. Tidak mewah, tapi bermakna. Bantuan itu menyentuh kebutuhan paling mendasar yang seringkali luput dari perhatian.
Ketua Srikandi PLN UID Jabar, Refa Purwati, menyebut kegiatan ini sebagai cermin dari energi perempuan PLN yang tidak hanya bekerja, tapi juga memberi terang pada kehidupan sesama. “Kami ingin hadir, memberi ruang, dan mencurahkan kasih untuk anak-anak luar biasa ini,” ujarnya.
Apa yang dilakukan Srikandi PLN bukan hanya agenda seremonial. Ia menyasar akar persoalan: inklusi sosial. Terutama bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus, yang sering tersingkir dari ruang publik dan pengembangan diri.
Dukungan ini juga menjadi perwujudan komitmen terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya pendidikan inklusif (Tujuan 4) dan pengurangan kesenjangan (Tujuan 10).
General Manager PLN UID Jawa Barat, Tonny Bellamy, tak menutupi kebanggaannya. “Energi bukan cuma listrik. Energi adalah kepedulian dan cinta kasih. Srikandi PLN menunjukkan bentuk energi yang sesungguhnya,” katanya.
Langkah ini bukan sekali lewat. PLN UID Jabar telah lebih dulu menyalurkan dana TJSL sekitar Rp 240 juta pada 2024 untuk mendukung Rumah Hasanah. Bantuan itu membiayai pelatihan keterampilan seperti ecoprint, shibori, kerja praktik di kafe, hingga seni dan motorik dasar.
Hasilnya? Menurut Fifi Ferita Mulfia, Pimpinan Rumah Hasanah, ada perubahan signifikan. “Tantrum anak-anak menurun, rentang perhatian membaik, dan mereka mulai produktif menghasilkan karya. Bahkan yang tadinya pemalu, sekarang berani tampil,” jelasnya.
Kegiatan di Tahura ini pun tak luput dari perhatian pemerintah. Kepala Pusat Pelayanan Sosial Griya Harapan Difabel, Andina Rahayu, menyebut langkah PLN sebagai contoh baik yang layak direplikasi. “Anak-anak disabilitas butuh ruang untuk tumbuh, dan hari ini PLN memberi mereka panggung itu,” ujarnya.
Di balik kabel dan transformator, ternyata masih ada ruang bagi empati. Srikandi PLN menunjukkan bahwa dalam dunia kelistrikan yang maskulin, perempuan hadir bukan sekadar pelengkap, tapi sebagai pelita yang menebar cahaya sosial—hangat, tulus, dan berdampak.***
Discussion about this post