MADANIA.CO.ID – Wajib disampaikan kepada mereka yang telah menyekutukan Allah bahwa para nabi telah mengajak kaumnya untuk menyembah kepada Allah, dan tidak kepada yang lainnya. Banyak argumentasi-argumentasi tentang hal ini telah disampaikannya kepada mereka. Tidak ada satu umat pun di dunia ini yang tidak mendapat rasul yang mengajak umatnya untuk menyembah Allah Yang Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyuruh para rasul-Nya untuk menunjuki manusia ke jalan tauhid yang hakiki yang tak ada perantara antara mereka dengan-Nya. Allah lah satu-satunya Pencipta, Pembentuk, Yang menghidupkan, dan Yang mematikan. Dia telah menyuruh Muhammad Saw. untuk beribadah kepada Allah secara murni (bersih). Menyuruhnya untuk memerangi kaum musyrikin. Agar semua urusan, doa, menyembelih, shalat, shaum, haji., zakat, istighatsah, dan nadzar hanya untuk Allah semata.
Ketahuilah, tauhid artinya mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam beribadah. Tauhid adalah agama para rasul yang karenanya mereka diutus kepada segenap hamba-Nya. Rasul yang pertama atau diawali adalah Nuh Alaihis Salam. Allah mengutus Nuh kepada kaumnya tatkala mereka berlebih-lebihan dalam memperlakukan orang-orang shaleh. Seperti, Wad, Siwa, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Namun, nabi Nuh dibantah oleh kaumnya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah.
“Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu, dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Siwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.’ (QS. Nuh, 71: 23).
Nama-nama yang disebutkan dalam ayat di atas semula adalah nama orang-orang shaleh kaum Nabi Nuh a.s. Setelah mereka meninggal, setan membisikan kaum Nabi Nuh agar membuat patung-patung yang diberi nama dengan nama-nama mereka. Bukan itu saja, patung-patung itu pun akhirnya diagungkan dan dimuliakan mereka.
Adapun rasul terakhir adalah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliaulah yang menghancurkan patung-patung orang shaleh tersebut. Allah mengutusnya kepada kaum yang senantiasa beribadah, menunaikan haji, bersedekah serta banyak berdzikir kepada Allah. Akan tetapi mereka menjadikan sebagian makhluk-Nya sebagai perantara antara mereka dengan Allah dalam beribadah. Mereka berkata, “Dengan perantaraan mereka kami bermaksud mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharapkan syafa’at mereka di sisi-Nya. Sedang para perantara itu terdiri dari para malaikat, Isa Al-Masih, Maryam dan orang-orang shaleh lainnya.
Setiap orang berakal tahu bahwa semua sesembahan selain Allah adalah dalam posisi lemah. Semuanya tidak memiliki sesuatu yang manfaat atau madarat, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Semuanya tidak memiliki sifat-sifat ketuhanan. Jadi, bagaimana dapat dijadikan sebagai obyek sesembahan, sedangkan keadaannya saja demikian? Bagaimana kita bisa memohon atau meminta, sedangkan ia tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak tahu apa-apa.
Allah Swt. telah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya tentang hal ini dengan firman-Nya, “Katakanlah, ‘Mengapa kamu menyembah kepada selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudarat kepadamu dan tidak pula memberi manfa’at?’ Dan Allah lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah, 5:76).
Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Dan sungguh Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan). ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah thaghut’, kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. An-Nahl, 16: 36).
Dalam firman-Nya yang lain disebutkan, “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya. “bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya, 21: 25).
Karena sangat mendasarnya persoalan keimanan sebagai landasan kehidupan seorang manusia, ayat-ayat al-Qur’an banyak menyerukan untuk bertauhid kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya, “Dan tanyakanlah (Muhammad) kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum engkau, ‘Apakah Kami menentukan tuhan-tuhan selain Allah Yang Maha Pengasih untuk disembah.” (QS. Az-Zukhruf, 43: 45).
Ungkapan senada terungkap dalam ayat-Nya, “Dia (Allah) telah mensyari’atkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya.” (QS. Asy-Syuura, 42: 13).
Sedangkan pada ayat lainya Allah negaskan, “Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan. Sungguh Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan sungguh, (agama tauhid) inilah, adalah agama kamu, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.” (QS. Al-Mu’minuun, 23: 50-51).
Ayat-ayat di atas menerangkan tentang para rasul yang berdakwah untuk mengenal Allah, yakni tidak ada Tuhan selain Dia. Sebagaimana dalam firman-firman-Nya, “Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu dia berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang dahsyat (Kiamat).” (QS. Al-A’raf, 7: 59). Dan dalam firman yang lainya disebutkan, “Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) Hud, saudara mereka. Dia berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa.” (QS. Al-A’raf, 7:65). Dan dalam firman yang lainnya dinyatakan, “Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) saudara mereka, Hud. Dia berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu, selain Dia. (Selama ini) kamu hanyalah mengada-ada.” (QS. Hud, 11: 50).
“Dan kepada kaum Tsamud (Kami utus) saudara mereka, Shaleh. Dia berlkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. “. (QS. Al-A’raf, 7: 73). “Dan kepada kaum Tsamud (Kami utus) saudara mereka, Shaleh. Dia berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. …” (QS. Hud, 11: 61).
“Dan kepada penduduk Madyan, Kami (utus), Syuaib, saudara mereka. Dia berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia …” (QS. Al-A’raf, 7: 85). “Dan kepada penduduk Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syu’aib. Dia berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia …” (QS. Hud, 11: 84).
Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “… padahal Al-Masih berkata, ‘Wahai Bani Israil, sembahlah Allah Rabb-ku dan Rabb-mu.’ Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolong.” (QS. Al-Ma’idah, 5: 72).
Dengan ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa semua para rasul mengajak umatnya kepada tauhid. Islam sudah ada di bumi sejak manusia itu ada, yakni sejak diciptakannya manusia pertama, Adam a.s. Said bin Ali Al-Qahthani mengatakan bahwa, Ibnu Abbas r.a. berkata, ‘Antara Nabi Adam dan nabi Nuh berjarak sepuluh abad. Semua manusia pada waktu itu sudah berpegang kepada Islam.”
Karena itu, Allah memperingatkan hambanya untuk tidak berlebihan dalam hal agama. Allah melarang manusia untuk mengkultuskan manusia, baik melalui perkataan maupun perbuatan, sehingga menganggap derajat manusia sama dengan Allah. Allah Swt. berfirman, “Wahai Ahli Kitab, jangan kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al-Masih, Isa putra Maryam, itu adalah utusan Allah dan (yang terjadi dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan dengan (tiupan) ruh daripada-Nya.’ (QS. An-Nisaa, 4:171).
Maka Allah mengutus kepada mereka Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam agar memperbaharui agama bapak mereka, Ibrahim Alaihis Salam. Kemudian menerangkan kepada mereka bahwa taqarrub (mendekatkan diri) dan kepercayaan itu hanyalah hak mutlak Allah. Keduanya tidak patut diberikan kepada yang lain, baik orang yang dekat dengan-Nya atau pun para rasul dan nabi yang diutus, untuk disamakan dengan-Nya. Orang-orang musyrik pun meyakini dan bersaksi bahwa Allah itu pencipta, pemberi rezki, yang esa, dan tidak ada serikat bagi-Nya. Tidak ada yang mampu menjamin rezeki kecuali Dia. Tiada yang menghidupkan dan yang mematikan kecuali Dia. Dan tidak ada yang mampu mengatur segala urusan kecuali Dia. Semua lapisan langit yang tujuh dan makhluk-makhluk yang ada padanya, serta seluruh bumi dan apa-apa yang ada di atasnya, semuanya merupakan makhluk-Nya dan berada di bawah kekuasaan-Nya.
Sementara itu, ayat-ayat al-Qur’an juga banyak menjelaskan agar manusia beriman kepada hari kiamat beserta peristiwa yang menyertainya. Dalam hal ini Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani dan Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah, 2:62).
Sebagai menifestasi dari sikap tauhid kepada-Nya, kita dilarang untuk berbuat syirik atau menyekutukan Allah Swt. Larangan tersebut dapat kita jumpai, sebagaimana firman-Nya, “Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: “Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu yang benar”. Demikianlah itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahaminya.” (QS. Al-An’am, 6: 151).
Keimanan yang tertanam kokoh dalam hati, selain menimbulkan sikap yang tidak menjurus ke arah perbuatan-perbuatan syirik, juga melahirkan kebaikan berupa amal saleh dan tindakan terpuji lainnya. Melakukan kebajikan dan menjauhi larangan-larangan-Nya merupakan manifestasi sikap tauhid. Untuk itu, keimanan senantiasa diikuti dengan perintah melakukan amal saleh dan larangan menjauhi perbuatan jahat.
Rangkaian ayat yang telah disebutkan di atas, merupakan tuntutan kepada kita sebagai muslim untuk senantiasa mentaati perintah Allah Swt, setelah menanam keyakinan akan makna tauhid. Tak ada artinya meyakini makna tauhid, tanpa diikuti perbuatan yang menjungjung tinggi nilai-nilai kebajikan. Hakekat keimanan senantiasa diiringi dengan amal saleh sebagai manifestasi ikrar tauhid yang telah diucapkan. Dalam pada itu, amal saleh juga harus diimbangi dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang dilarang-Nya, agar kesucian hati tetap terjaga. Iman adalah bagian yang paling mendasar bagi seorang muslim. Ia akan melandasi geraknya, sebagai sebuah takaran tingkat ketaatan kepada sang khalik.
Itulah sebabnya, setelah menitahkan kepada kita untuk beribadah kepada-Nya, turunlah ayat-ayat al-Qur’an yang menyeru kepada manusia untuk berbuat yang baik dan meninggalkan yang jahat. Dapat kita lihat misalnya perintah Allah agar kita tidak syirik, yang kemudian dilanjutkan agar kita berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali persaudaraan, bersikap adil dan selalu menepati janji terhadap ucapan yang pernah dilontarkan. Tidak itu saja, Allah juga memerintahkan kepada kita agar menakar timbangan dengan benar. Ia tidak memperkenankan kita melakukan perbuatan-perbuatan keji yang dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Selanjutnya supaya kita membicarakan segala persoalan, terutama yang berhubungan dengan masalah agama dengan dasar ilmu pengetahuan yang cukup memadai.
Keikhlasan dalam menunaikan perintah agama, sikap tawakal kepada-Nya, sabar dalam menghadapi setiap cobaan hidup merupakan perilaku yang diperintahkan Allah Swt. sebagaimana telah disitir dalam ayat-ayat-Nya. Dari hakekat makna tauhid, lahirlah rasa kecintaan kepada Rasulullah Saw. sebagai seorang utusan yang patut kita teladani. Wallahu a’lam bish-shawwab.***
Discussion about this post