Oleh : Zein Rifqi Alfiansyah
MADANIACOID – Di era modern ini, masyarakat Pangaritan Ujung Berung terus berupaya melestarikan Reak Dogdog, sebuah kesenian tradisional Sunda yang telah ada sejak ratusan tahun lalu.
Reak Dogdog adalah salah satu bentuk seni yang menggabungkan musik, tari, dan teatrikal, dengan alat musik utama seperti kendang, terompet, dan dogdog, sebuah alat musik tabuh khas. Nama “Reak” sendiri merujuk pada suara keras yang dihasilkan dari alat musik tersebut.
Kesenian ini sering dipentaskan dalam upacara adat, pesta rakyat, atau kegiatan keagamaan, dan melibatkan penari-penari yang mengenakan kostum tradisional serta topeng yang menggambarkan berbagai karakter. Hingga kini, masyarakat Pangaritan masih secara rutin menggelar Reak Dogdog dalam berbagai kesempatan, seperti perayaan kemerdekaan, acara khitanan, dan sasauran selama bulan Ramadan.
Secara historis, Reak Dogdog berasal dari istilah “reok” atau “reog” yang berarti membuat kebisingan atau gaduh. Kesenian ini dipercaya telah ada sejak zaman Majapahit dan mulai menyebar ke wilayah Jawa Barat pada masa Kesultanan Cirebon.
Seiring waktu, Reak menyebar hingga ke Sumedang dan Ujungberung di Bandung. Awalnya, Reak berfungsi sebagai seni penyerta dalam ritual nyawah (bertani padi), namun kemudian berkembang menjadi lebih kompleks dan atraktif.
Pada tahun 1952, seorang pedagang dari Sumedang bernama Abah Nurfa’i mulai memperkenalkan Reak dalam ritual “Ngaronggeng” atau pesta panen padi di kawasan Ujungberung. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1962, Aki Rahma dan Abah Juarta dari Cinunuk mengubah seni ini menjadi seni arak-arakan dalam upacara khitan.
Mereka menghilangkan penggunaan alat musik angklung dan memperkuat peran dogdog, sehingga kesenian ini kemudian dikenal sebagai Reak Dogdog.
Seiring perkembangannya, Reak Dogdog menjadi seni helaran yang atraktif, di mana para pemain melakukan iring-iringan mengelilingi kampung dengan rute yang dimulai dan diakhiri di rumah orang yang mengadakan acara. Inovasi terus dilakukan dengan menambah variasi seperti “dogju” (dogdog maju) yang melibatkan pergerakan, dan “dogcing” (dogdog cicing atau diam di tempat) yang hanya melakukan atraksi di satu tempat.
Pertunjukan ini melibatkan sinden, pemain reak, dan nayaga, dengan alat musik seperti tilingtit, tong, berung, badumbamplak, bedug, dan tarompet.
Dalam setiap pertunjukan, lagu-lagu yang dimainkan memberikan pesan moral tentang kehidupan dan pentingnya bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sering kali, pemain Reak Dogdog tampak dalam keadaan trance (kesurupan) karena energi intens dari musik dan tarian.
Trance ini dianggap sebagai bentuk komunikasi spiritual antara manusia, makhluk gaib, dan alam semesta, yang menunjukkan hubungan mendalam antara seni dan spiritualitas dalam budaya Sunda.
Namun, pelestarian Reak Dogdog tidak tanpa tantangan. Modernisasi dan globalisasi sering kali membuat generasi muda lebih tertarik pada budaya pop dan teknologi daripada seni tradisional.
Selain itu, minimnya dukungan dana juga menjadi kendala bagi keberlanjutan kegiatan pelestarian ini. Meski demikian, masyarakat Pangaritan Ujung Berung tidak patah semangat. Mereka terus melibatkan berbagai pihak, seperti komunitas seni, tokoh masyarakat, dan generasi muda, untuk bersama-sama menjaga kelestarian kesenian ini.
Harapan besar mereka adalah agar Reak Dogdog tetap hidup dan terus menjadi kebanggaan, tidak hanya bagi warga Pangaritan Ujung Berung, tetapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia. Dengan semangat gotong royong dan kebersamaan, masyarakat Pangaritan Ujung Berung menunjukkan bahwa pelestarian budaya tradisional adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat.
Semoga Reak Dogdog terus berkembang dan dikenal sebagai salah satu kekayaan budaya Nusantara yang tak ternilai harganya, serta menjadi warisan yang bisa dinikmati oleh generasi mendatang.***
Penulis adalah mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung Jurusan Bahasa dan Sastra Arab.
Discussion about this post