madania.co.id –Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF RI) menguatkan budaya literasi mandiri dan edukasi hukum sebagai gerakan perbaikan tontonan dari dampak globalisasi perfilman.
“Film dapat memberikan dampak negatif bila ditonton tidak sesuai dengan klasifikasi usia, karena film yang diperuntukkan bagi orang dewasa tidak akan cocok di tonton oleh anak-anak,” Roseri Rosdy Putri selaku Sekretaris Komisi II LSF pada pada sosialisasi budaya sensor mandiri di Pemprov Jabar pada Kamis 2 Maret 2023.
Roseri menjelaskan, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, maka tugas dan tanggungjawab LSF melakukan penelitian dan penilaian tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film yang akan diedarkan dan dipertunjukkan kepada khalayak umum.
Salah satu strategi yang dilakukan yakni lewat gerakan budaya sensor mandiri yang dapat dilakukan oleh orang tua, guru maupun orang dewasa lainnya kepada anak, karena dalam tata aturan pemerintah melalui LSF membagi dalam empat klasifikasi usia yakni tontonan Semua Umur (SU), di atas 13 tahun (13+), dewasa di atas 17 tahun (17+) dan dewasa di atas 21 tahun (21+).
“Upaya melindungi masyarakat dari dampak negatif film tidak cukup dengan kebijakan surat tanda lulus sensor (STLS)” ujarnya.
“Masyarakat dan publik perlu mendapatkan pendidikan serta pengetahuan terhadap film melalui penguatan fungsi literasi, sehingga masyarakat memiliki kesadaran dan kepedulian untuk menonton film sesuai klasifikasi usia maupun peruntukannya,” pungkasnya ***
Discussion about this post