madania.co.id.– Guru besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD tak menampik jika partisipasi masyarakat dalam pemindahan Ibu Kota Nusantara (IKN) ke Kalimantan Timur (Kaltim) masih sangat minim.
“Sangat minim partisipasi dari masyarakat, ini bisa kita lihat dari mulai pembentukan Undang-undang (IKN) yang sangat singkat ” ujar Prof. Susi dalam Diskusi Telaah Kritis Pemindahan Ibu Kota Negara pada Sabtu 25 Februari 2023.
Dalam diskusi yang diinisiai oleh Perkumpulan Indonesia Muda (PIM) Jabar ini, Prof. Susi menegaskan aspek partisipasi publik perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation).
“Pemenuhan meaningful participation ini akan menjadi tolok ukur suatu produk hukum telah tersusun dengan sempurna secara formil sehingga secara materiil juga memenuhi rasa keadilan yang dikehendaki masyarakat” tegasnya.
Menurutnya, partisipasi publik wajib memiliki tiga prasyarat penting di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan antara lain hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard)
“Kemudian hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered) dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained)” ujarnya.
Dalam rencana pemindahan IKN, tegasnya, ada kecenderungan agenda politik terselubung karena tidak memenuhi dari meaningful participation yakni hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapat penjelasan.
“Nah, apakah yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang itu, semata-mata hanya untuk menjalankan hak untuk didengar? Sebenarnya yang harus didengarkan adalah mereka yang terkena dampak. Atau mereka yang memiliki concern atau perhatian. Saya memberikan perhatian sampai sejauh mana pembentuk undang-undang itu mengutamakan atau memberikan prioritas bagi mereka yang terdampak,” ujarnya.
Terkait dengan agenda politik terselubung dalam pemindahan IKN, Prof. Susi mengungkapkan seorang profesor berkebangsaan Rusia Vadim Rossman mengatakan ada tiga bentuk hidden political agenda yang mungkin terjadi dalam pemindahan ibu kota negara.
Pertama, Yakni mengasingkan atau memarginalisasi gerakan protes atau gerakan demo. Di mana ibu kota negara seringkali menjadi pusat dari gerakan masyarakat sipil dan tempat dari bergejolaknya protes dari masyarakat.
Kedua adalah homogenisasi etnis penduduk di ibu kota negara. dan yang Ketiga adalah memindahkan ibu kota negara ke wilayah asli penguasa.
Bahkan ada sejarawan dari Inggris yang menyebutkan bahwa ibu kota negara sebagai “the power cage of protest”.
Oleh karena itu, ujar Prof Susi, pemerintah otoriter biasanya akan menggunakan pemindahan ibu kota negara sebagai taktik segregasi. Hal ini, imbuhnya, seperti yang pernah terjadi di Paris, Prancis.
“Jadi, masyarakat patut mempertanyakan, mengapa sangat minim partisipasi masyarakat. Apakah ada agenda politik tersembunyi? Padahal keputusan untuk memindahkan itu haruslah mencerminkan sentimental decision of nation” ujarnya.
“Keputusan penting dari sebuah bangsa, bukan penguasa. Urusan pemindahan IKN itu bukanlah cabang kekuasaan ekslusif dari eksekutif” Pungkasnya.
Sementara itu dalam kesempatan yang sama, juru bicara PIM Jabar Yusep Ginanjar mengatakan pemindahan IKN bukan tanpa masalah.
“Kami membuka, membedah dan merekomendasikan persoalan yang terjadi dengan rencana pemidahan IKN ini” Ujarnya.
PIM, tegas Yusep, tidak berpihak kepada siapapun. Kami hanya perpihak pada konstitusi, kebenaran yang mana disana ada hak-hak dari masyarakat secara luas.
“Apa yang harus diperbaharui dan harus dibereskan oleh pemerintah terkait persoalan dari pemindahan IKN ini agar bisa
membawa kebaikan untuk bersama” pungkasnya. (***)
Discussion about this post